September kelam merupakan dua kata yang sering diucap oleh masyarakat yang perduli terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) baik dikalangan aktivis maupun tingkatan akademis. Terlalu banyaknya tragedi yang tidak berperikemanusiaan dan pelanggaran HAM berat terjadi sepanjang bulan September yang hingga sampai saat ini belum juga diselesaikan oleh negara. Rentetan Kasus yang terjadi dibulan september diawali dengan tragedi pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, pembunuhan Munir 2004, dan kebrutalan aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi serta penolakan terhadap Undang-Undang Omnibuslaw.
Peristiwa pembantaian 1965-1966 merupakan tragedi yang kelam dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia. Peristiwa tersebut diakibatkan adanya kebijakan pemerintah dahulu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota, simpatisan, pengikut hingga keluarganya yang tidak tahu apa-apa. Kejadian tersebut telah mengalibatkan berbagai bentuk penyiksaan, pembunuhan, perbudakan, penculikan, pengusiran secara paksa, dan perampasan kemerdekaan korban. Selanjutnya tragadi Tanjung Priok 1984, peristiwa kelam tersebut terjadi di daerah Tanjung Priok Jakarta Utara yang banyak merenggut nyawa manusia. Belum selesai, peristiwa Semanggi II terjadi pada 23 hingga 24 September 1999 pun pecah, kekerasan-kekerasan dan tindakan tidak manusiawi yang begitu kejam antara lain pembunuhan, penganiayaan, perkosaan atau bentuk kekerasan seksual yang setara, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik.
Pelanggaran HAM berat lain yang terjadi adalah pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang kemudian diikuti dengan pembunuhan yang dialami oleh Munir pada tahun 2004 merupakan pembunuhan terhadap pejuang Hak Asasi Manusia secara keji. Pembunuhan terjadi saat Munir Said Thalib hendak ingin melanjutkan kuliah S2 di Belanda, Munir meninggal di dalam pesawat Garuda indonesia dengan nomor GA-974 diusianya yang menginjak 39 tahun. Dia dibunuh saat berada didalam pesawat dengan dugaan Munir telah diracun. Hingga sampai 17 tahun lamanya kasus Munir tak pernah terungkap siapa dalang dibalik pembunuhannya.
Gerakan Reformasi Dikorupsi pun akhirnya muncul sebagai bentuk respon dari adanya kegagalan pemerintah dalam mengentaskan segala bentuk permasalahan yang dialami Bangsa Indonesia. Tindakan tersebut justru kembali direspon oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan tidakan respresif yang dilontarkan kepada masyarakat khususnya masa aksi yang tergabung didalam gerakan. Bebarapa kali tercatat aksi yang tergolong besar adalah penolakan terhadap adanya kebijakan yang muncul seperti RUU KUHP, RUU KPK, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Omnibuslaw dll. Meskipun begitu Pemerintah seolah tutup mata dan menutup telinga rapat-rapat, Rancangan Undang-Undang tersebut tetap saja disahkan sekuat apapun masyarakat menolaknya,
Serangkaian peristiwa di Bulan September pun muncul seperti bertepatan dengan hari Demokrasi Internasional (Internasional Day of Democracy) yang di peringati setiap pada tanggal 15 September. Demokrasi sendiri merupakan bentuk pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk mengambil keputusan di dalam sebuah negara. Konsep demokrasi sejak dulu sudah dipikirkan dan rumuskan. Sejak zaman Yunani Kuno dengan salah satu tokohnya yang terkenal yaitu Plato mengartikan demokrasi adalah dimana pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan kepentingan umumlah yang diutamakan. Dalam prinsipnya pemerintahan demokrasi mengutamakan kemerdekaan dan kebebasan. Menurut Robert A.Dalh prinsip-prinsip yang berada dalam demokrasi yaitu kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan umum yang jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tampa ancaman, kebebasan mengakses informasi, serta kebebasan berserikat.
Peringatan Demokrasi Internasional diawali sejak adanya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007. Pada September tahun 2021 ini PBB mengambil tema dalam memperingati hari Demokrasi Internasional berkaitan terhadap keadaan saat ini yaitu “Memperkuat ketahanan demokrasi dalam menghadapi krisis di masa depan”. Krisis COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya telah mengakibatkan tantangan sosial, politik, dan hukum yang besar secara global. Ketika negara-negara di seluruh dunia mengadopsi langkah-langkah darurat untuk mengatasi krisis, sangat penting bagi mereka untuk terus menegakkan supremasi hukum, melindungi dan menghormati standar internasional dan prinsip-prinsip dasar legalitas, dan hak untuk mengakses keadilan, pemulihan dan proses hukum.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah mendesak pemerintah untuk transparan, responsif, dan akuntabel dalam tanggapan Covid-19 mereka dan memastikan bahwa tindakan darurat apa pun legal, proporsional, perlu, dan tidak diskriminatif. “Tanggapan terbaik adalah yang merespon secara proporsional terhadap ancaman langsung sambil melindungi hak asasi manusia dan supremasi hukum,” dilansir laman un.org.
Kebijakan singkat Sekretaris Jenderal mengatakan negara harus menghormati dan melindungi, antara lain, hak kebebasan berekspresi dan pers, kebebasan informasi, kebebasan berserikat dan berkumpul. Kekhawatiran di banyak negara dalam konteks Covid-19 meliputi langkah-langkah untuk mengontrol arus informasi dan tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi serta kebebasan pers dengan latar belakang ruang sipil yang menyusut. Penangkapan, penahanan, penuntutan atau penganiayaan terhadap lawan politik, jurnalis, dokter dan petugas kesehatan, aktivis, dan lainnya karena diduga menyebarkan “berita palsu”. Pemolisian siber yang agresif dan peningkatan pengawasan online.
Penundaan pemilu meningkatkan masalah konstitusional yang serius dalam beberapa kasus dan dapat menyebabkan meningkatnya ketegangan. Krisis tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana cara terbaik untuk melawan ucapan yang berbahaya sambil melindungi kebebasan berekspresi. Upaya pembersihan untuk menghilangkan informasi yang salah atau disinformasi dapat mengakibatkan penyensoran yang disengaja atau tidak disengaja, yang merusak kepercayaan. Tanggapan yang paling efektif adalah informasi yang akurat, jelas, dan berbasis bukti dari sumber yang dipercaya orang. Di seluruh dunia, organisasi masyarakat sipil telah menjawab seruan PBB untuk bertindak untuk mengatasi dan melawan berbagai cara krisis Covid-19 dapat merusak demokrasi dan meningkatkan otoritarianisme.
Bertepatan dengan adanya peringatan hari Demokrasi Internasional Badan Eksekutif Mahasiswa FH UNISSULA mengadakan mimbar bebas untuk mengenang kejadian yang terjadi pada sepanjang bulan September dan merefleksikan kembali keadaan demokrasi yang ada di Indonesia dengan bertagarkan #DEMOKRASIDIKORUPSI di depan Gedung Fakultas Hukum UNISSULA.
Aksi mimbar bebas merupakan aksi solidaritas mahasiswa terhadap para korban pelanggaran HAM berat dan kasus HAM yang belum tuntas, beserta semakin kecilnya ruang kebebasan untuk mengekpresikan pendapat serta rasa skeptis terhadap pemerintahan saat ini.
Aksi tersebut di awali dengan bercerita tentang sejarah pelanggaran HAM berat sepanjang bulan September, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, orasi dan tidak ketinggalan menyanyikan lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” serta berbagai lagu dari musisi salah satunya Iwan Fals. Dipenghujung acara dilakukan aksi pembakaran keranda dengan lilin yang sudah di siapkan sebelumnnya, makna dari pembakaran keranda menurut Presiden BEM memiliki arti salah satu bentuk upaya perlawanan kita dimana hati nurani pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, dan simbol api perlawanannya akan terus hidup, simbol kebenaran itu akan terus hidup dan akan terus kami gaungkan.
Penulis : Dedy Irawan & Nita Jepi Tamara