Berbicara mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia, maka kalimat pertama yang mungkin akan dikatakan oleh sebagian besar orang adalah “Tidak Adil”. Bagaimana bisa kita mengatakan bahwa hukum sudah dijalankan dengan adil di Indonesia, jika masih banyak kasus hukum yang mangkrak, tidak diproses secara benar, bahkan mungkin hukum di sini kalah dengan uang. Memang betul, mustahil bagi sebuah negara bisa melaksanakan hukumnya secara adil tanpa adanya kesalahan. Tapi setidaknya, sebuah negara bisa mempertahankan hukumnya dengan baik dan berusaha untuk bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakannya. Satu hal yang paling penting jika berbicara mengenai pelaksanaan hukum ialah, jangan sampai hukum kalah dengan uang, dan semua orang dalam lingkaran pelaksana hukum sebuah negara terbutakan dengan suapan pihak-pihak yang mencoba meruntuhkan hukum sebuah negara.
Selama tahun 2021 berjalan, di Indonesia sendiri sudah tercatat ribuan kasus hukum yang menuai kontroversi. Mulai dari berhentinya proses hukum dari peristiwa pelanggaran hukum, kasus suap yang tak kunjung berhenti, kriminalisasi pengritik penguasa, kontroversi lembaga anti-rasuah, hingga yang terbaru mengenai tindak pidana kekerasan seksual yang menelan banyak korban. Peristiwa hukum yang tadi disebutkan mungkin hanya sebagian kecil bukti bobroknya hukum di Indonesia. Di luar peristiwa hukum tadi, masih banyak masalah hukum di Indonesia yang tak terselesaikan.
Mari kita ulas kilas balik pelaksanaan hukum dan segala kontroversi yang mengiringinya selama tahun 2021.
1. Penggembosan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) menjadi lembaga yang paling disoroti selama kurun waktu 2020 hingga 2021. Sejak diangkatnya pimpinan baru yaitu Firli Bahuri, publik mulai mempertanyakan akan dibawa kemana KPK oleh pimpinan yang rekam jejaknya meragukan. Keraguan publik terhadap kinerja KPK sedikit demi sedikit terjawab pasca disahkannya Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Butir-butir pasal yang banyak dipertanyakan seperti adanya dewan pengawas yang dianggap bisa memperlambat operasional KPK, hingga alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan melalui uji Tes Wawasan Kebangsaan menjadi polemik. Polemik mengenai pengangkatan ASN di lingkungan KPK menjadi kenyataan yang pahit bagi 51 pegawai KPK yang harus rela dipecat hanya karena gagal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK).
Tes wawasan kebangsaan yang dilakukan dianggap tidak berkeadilan, sebab mana mungkin pegawai, penyidik senior, dan mereka yang gagah berani melawan korupsi tidak memiliki jiwa kebangsaan. Sedangkan salah satu ciri bela negara dengan mind set kebangsaan yang baik ialah pencegahan dan penindakan korupsi, memang suatu hal yang aneh. Pantas saja jika banyak yang mempertanyakan dasar pemecatan terhadap 51 orang pegawai KPK. Namun, badai angin berlalu, Kepolisian Republik Indonesia melalui statement Kapolri pada akhirnya menampung ex-pegawai KPK untuk bekerja di Kepolisian, membantu mereka ikut dalam pemberantasan korupsi.
Kontroversi KPK tak berhenti di situ, sebab beberapa bulan setelahnya salah satu mantan penyidik KPK yaitu Stepanus Robin Pattuju juga ditangkap atas tuduhan suap yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar, Aziz Syamsuddin.
2. Kasus Suap yang Menjerat Wakil Ketua DPR
Kasus korupsi dan suap di lingkungan anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah suatu hal yang baru. Pasalnya kasus demikian kerap terjadi. Kita masih ingat kasus yang menjerat mantan ketua DPR ‘Papa Setya Novanto’ yang dramanya mengalahkan K-Drama, dari menabrak tiang lampu jalan sampai Mba Nana yang mampir ke sel tahanannya. Namun kasus yang terbaru di lingkungan DPR tentu saja ialah kasus suap yang Menjerat Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsuddin.
Aziz ditangkap atas tuduhan suap yang menjerat dirinya pada Jum’at (24/9/2021). Kasus suap penanganan perkara di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung ini tidak hanya menjerat dirinya saja. Pasalnya ada beberapa nama lainnya yang ikut terjera kasus suap, yaitu mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju, Syahrial sebagai pemberi suap (Wali Kota Tanjungbalai non-aktif), serta Maskur yang juga menerima suap.
3. Kritik di Balik Bayang-Bayang UU ITE
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang kerap disebut UU ITE menjadi salah satu produk hukum yang di tahun 2021 ini mendapat banyak kecaman. Bagaimana tidak, banyak orang yang menjadi korban akibat undang-undang ini. Adanya pasal karet terkait dengan pencemaran nama baik di pasal 45 UU ITE, juga pasal 45a dan 45b yang banyak menjerat pihak-pihak yang dituduh menyebarkan ujaran kebencian melalui Internet. Tentu dengan adanya undang-undang ITE yang banyak disalahgunakan membuat ketakutan masyarakat untuk mengkritik pemerintah, khususnya melalui sosial media. Ketakutan ini memuncak dengan ditambah adanya pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa.
Banyak sudah masyarakat yang harus ditindak secara pidana akibat mengkritik melalui sosial media. Jurnalis Watchdoc Dandhy Laksono, Jumhur Hidayat, Baiq Nuril Makmun, serta Ravio Patra Asri merupakan korban dari adanya UU ITE. Presiden Joko Widodo secara tegas pernah memberikan pernyataan agar masyarakat terus mengkritik kinerja pemerintah. Namun pernyataan presiden tersebut secara jelas kontradiksi dengan kenyataan yang ada, bahwasannya banyak pihak yang mengkritik pemerintah justru dikriminalisasi.
Menjadi pejabat negara tentu harus kuat menahan kritik dan masukkan, sudah menjadi konsekuensi apabila kinerja mereka kurang memuaskan maka krktiklah yang akan datang. Oleh sebab itu, harapannya para pejabat publik ini lebih aware dan peduli terhadap kritik masyarakat, jangan mudah terpancing dengan kata-kata di sosial media. Buktikan bahwa anda dapat menjawab kritik masyarakat dengan prestasi.
4. Buruh Menuntut Undang-Undang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja selama tahun 2020 hingga 2021 terus menuai kontroversi. Buruh menilai bahwa undang-undang tersebut secara nyata hanya menguntungkan pengusaha dan industri saja, sedangkan buruh merasa bahwa adanya undang-undang ini hanya akan merugikan mereka. Akibat ada banyaknya pasal yang dikritik oleh publik, maka Aliansi buruh di Indonesia mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat dan perlu untuk dicabut dan diperbaiki. Namun di sisi lain pemerintah bergeming bahwa undang-undang tersebut diciptakan demi kebaikan dan kemajuan industri, termasuk buruh. Mereka menilai bahwa undang-undang ini akan berjalan dengan baik dan mampu menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru. Tapi Aliansi buruh dan banyak lapisan masyarakat tetap pada pendiriannya untuk terus menuntut evaluasi secara menyeluruh terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Angin segar pun datang seiring dengan diketoknya palu MK. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji formil yang diajukan oleh beberapa aliansi buruh nasional. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. Hal ini terjadi karena proses penyusunan dan pembuatan undang-undang ini bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi memberikan jangan waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja ini.
5. Urgensi Pengesahan RUU PKS
Meningkatnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Tidak adanya payung hukum bagi tindak pidana kekerasan seksual membuat kasus serupa terus terjadi seakan-akan seperti gunung es. Kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Bandung, dimana seorang guru agama mencabuli puluhan santriwati bahkan banyak diantara mereka yang sampai mengandung dan sudah melahirkan, tentu menjadi catatan tersendiri tentang perlunya ada payung hukum yang jelas. Kasus kekerasan seksual yang juga banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia juga harus menjadi fokus pemerintah dan pihak terkait lainnya.
Kasus kekerasan seksual yang kerap kali tidak terdeteksi, terjadi karena kurang responsifnya pihak kepolisian dalam memproses kasus kekerasan seksual, ditambah jarangnya keadilan berpihak pada korban menambah runyam kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Oleh sebab itulah, momen-momen memilukan seperti ini harus menjadi batu lompatan agar Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS segera disahkan menjadi Undang-Undang. Kita tidak bisa menunggu sampai korban kekerasan seksual berbicara ke publik, atau menunggu sampai ratusan ribu korban kekerasan seksual depresi dan rusak psikisnya. Ada beberapa alasan urgensimya RUU PKS agar segera disahkan, diantaranya : kasus kekerasan seksual terus meningkat, banyaknya anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, para korban kekerasan seksual membutuhkan payung hukum yang memberikan mereka rasa keadilan, serta korban kekerasan seksual yang segera membutuhkan perlindungan.
Peristiwa-peristiwa hukum di atas hanyalah sebagian kecil bukti bahwa hukum belum berjalan dengan baik dan berkeadilan di Indonesia. Perlu improve yang dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat dan pelaksana kebijakan. Masyarakat membutuhkan hukum yang berjalan adil, dan pemerintah juga memerlukan masyarakat yang dapat menaati hukum dengan bijak. Itu semua hanya dapat dicapai jika keadilan memihak kepada rakyat, salah satunya dengan kebijakan yang baik dan pelaksanaan prosedur hukum dengan bijak. Dengan terlaksananya itu semua, maka masyarakat sebagai pelaku utama juga akan mengikutinya dengan baik.
Apa yang terjadi selama tahun 2021 harapannya dapat dijadikan sebagai pelajaran bahwa perlu dilakukan perbaikan secara fundamental terdapat pelaksanaan hukum di Indonesia. Kita semua berharap hal-hal buruk yang telah terjadi tidak kembali terulang di tahun 2022, serta keadilan dapat berpihak ke semua lapisan masyarakat.
Viva Justicia !!!
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq
Editor : Tuti Wijaya