Segalanya menjadi sunyi. Sampah-sampah terbang, melayang dihalau angin. Kosong. Kampung halamanku seperti tanah mati yang tak berpenghuni. Bila malam datang, keadaan kian mencekam. Entah sampai kapan akan berakhir dalam ketidakpastian seperti ini. Dari hari ke hari, rasa nyeri kian menjadi. Tak ada uang. Karyawan pabrik dirumahkan tanpa pesangon, bahkan tak sedikit yang di-PHK, padahal kebutuhan makan tak pernah ada kata sudah.
Hari berganti minggu berjalan menjadi bulan hingga persediaan kebutuhan kian menipis. Tak lagi ada bantuan yang datang. Penduduk mulai dilanda kelaparan. Orang-orang berburu di dalam hutan hingga binatang-binatang mulai habis. Yang boleh dimakan atau pun tidak. Segala upaya untuk mengurangi penyebaran wabah mulai meruntuhkan perisai-perisai yang mereka bangun. Keadaan ekonomi memaksa mereka untuk keluar rumah demi sesuap nasi esok hari. Bagi mereka yang bekerja di kantor, mungkin tetap bisa berkumpul menikmati canda tawa dari dalam perisai yang berwujud rumah. Tetapi tidak bagi para pekerja harian. Mereka, barangkali akan menjadi zombie, karena bertarung sendiri dengan pandemi.
Pak Bejo sedang duduk di depan rumah, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Ia tengah melamun, pikiran kacau isi kepala terasa ingin meledak. Ia terlonjak kaget saat istrinya menghampiri dengan secangkir kopi, pagi itu.
“Bapak, mikirin apa?“ sembari meletakkan secangkir kopi. Suaminya tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya lalu menyesap habis secangkir kopi.
Pagi itu istrinya memasak, ia melihat beras yang di dalam karung berukuran 25 kg tinggal satu takar. Ia nampak gelisah. Tatapannya sendu saat melihat anaknya tengah berkutik dengan media daring untuk belajar.
Ramadhan hampir tiba, namun pandemi belum juga usai. Pak Bejo yang hanya petani mulai bingung menjual hasil panennya yang kian hari kian melonjak turun; dari empat ribu per kilo menjadi tiga ribu per kilo. Istrinya baru saja di-PHK akibat pabriknya mengalami kerugian yang cukup besar.
Pak Bejo dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya Gadis, sudah duduk di bangku kelas tiga SMK yang gagal menempuh Ujian Nasional berbasis komputer karena terkendala pandemi, pembelajaran dialihkan dalam bentuk daring, membuatnya sering berkutik dengan gadgetnya dan melakukan video call menggunakan Zoom dengan guru dan juga teman-temannya. Adiknya, Edo yang sudah duduk dibangku kelas dua SMP.
“Mbak, bapak dan ibu ke mana?“
“Bukannya tadi di teras?“
“Tidak ada.“
Gadis segera beranjak dari mejanya untuk mencari ibunya. Ia membuka garasi yang tak menemukan kendaraan bapaknya.
“Bapak pergi membawa motor. Mungkin saja bersama ibu membeli sembako di toko depan.“
Edo tak menjawab segera ia ke dapur, membuka tudung saji. Tak ada makanan. Padahal perutnya sudah keroncongan sendari tadi. Terdengar bunyi deru motor bapak tengah membuka garasi rumah. Gadis tak melihat ibu membonceng maupun menutup pintu. Yang ia lihat hanya bapak yang tengah memasukkan motor ke dalam rumah.
Ceklek! Bunyi pintu terbuka
Bapak menyodorkan seikat daun singkong untuk lauk siang ini.
“Pak, ibu kemana?“ ia menahan cacing cacing yang demo dalam perutnya.
“Ibumu sedang berbincang-bincang dengan Mbak Minah.“
Pak Bejo segera masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Gadis nampak sibuk mencuci daun singkong untuk makan siang. Dengan cekatannya ia memasukan bumbu ke dalam minyak di wajan; bawang merah, bawang putih, dan cabai, memasukkan daun singkong, menambahkan sedikit air, menabur garam, dan sedikit gula. Bau bawang putih yang tengah dioseng tercium hingga membuat adiknya menemuinya. Edo segera mengambil nasi hingga memenuhi piring dan segera melahap hingga tak tersisa. Gadis tersenyum-senyum melihat adiknya seperti orang kelaparan, dua hari tak makan.
Ceklek!
“Assalamualaikum…“
“Waalaikumsalam. Ibu kenapa?“ tanya Edo penasaran.
Gadis dan Pak Bejo nampak antusias mendengar cerita Ibu Bejo, namun yang ditunggu tidak kunjung bercerita, hanya terdengar helaan napas yang cukup panjang.
“Anak Pak Hamid, dicurigai terkena covid-19. Ia sedang di isolasi di rumah sakit…” belum sempat ibu melanjutkan cerita Edo menyela cerita ibunya dengan pertanyaan.
“Bukankah keluarga Pak Hamid tidak pernah keluar rumah? Bagaimana bisa? Apakah ibu yakin dengan cerita ini?“ cerocosnya.
“Mbak Minah yang ngomong. Ia adik dari Pak Hamid. Ia terkena covid-19 sebab saat itu istri pak Hamid menyuruhnya membeli minyak goreng, bahkan ia sudah menggunakan masker, menjaga jarak pula, namun juga tidak ada yang tahu jika anaknya terkena covid-19. Sekarang keluarga pak Hamid sedang diperiksa di rumah sakit. Semoga saja hasilnya negatif.“
“Lalu, kenapa ibu tak memakai masker saat keluar rumah dan malah berkerumun?“ tanya Gadis.
“Hish, kau ini. Ibu tak berkerumun, hanya ibu dan mbak Minah saja, kami juga menjaga jarak. Ibu tak memakai masker karena lupa.“ jelasnya.
Gadis melanjutkan kegiatannya, belajar. Begitu pun dengan Edo yang tengah sibuk berkutik dengan handphone-nya. Pak Bejo dan istrinya nampak berbicara serius di ruang tengah, seperti ada raut kegelisahan dalam wajah keduanya. Percakapan itu berhenti ketika TOA masjid menyiarkan bahwa ada seseorang yang meninggal.
Malam semakin sepi. Pak Bejo mengunci pintu rumah dan mematikan sebagian lampu yang tak digunakan lagi. Sekitar jam dua belas malam, bunyi kentongan ramai sekali. Pak Bejo dan istrinya segera keluar rumah untuk memastikan keadaan. Ternyata ada dua maling lolos dari kejaran warga.
“Rumah siapa yang menjadi sasaran, Pak?“ tanya pak Bejo penasaran.
“Rumah Pak Hamid yang saat ini kosong.“
“Lho, memangnya Pak Hamid belum pulang?“ tanya istri Pak Bejo pada seorang hansip di hadapannya.
“Belum, Bu.“ Hansip itu segera meninggalkan pak Bejo dan istrinya untuk mulai berjaga kembali.
“Banyak orang yang nekat mencuri untuk makan.“ tukas Pak Bejo.
“Kita masih bersyukur ya, Pak. Masih bisa makan meski lauk seadanya” Keduanya memutuskan masuk ke dalam rumah. Pak Bejo hanya mengekor istrinya dari belakang dan mengunci pintu. Baru saja pasangan suami istri ini masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar bising sekali suara beberapa hentakan kaki yang tengah berlarian.
“Pencuri! Pencuri!“
“Awas kau, kubunuh!“
“Kubakar hidup-hidup!“
“Jangan lari kau!“
“Mati kau setelah ini!“
Banyak sekali sumpah serapah dan kata-kata ancaman yang keluar dari mulut warga.
Teriakan warga mengejar pencuri terdengar sangat keras membuat keluarga Pak Bejo berlari keluar rumah melihat apa yang terjadi.
“Dis, di rumah ya. Temani ibumu dan jaga rumah. Jangan beri kesempatan pencuri lain untuk memanfaatkan kondisi ini untuk mencuri rumah kita.“ kata Pak Bejo.
Pak Bejo dan Edo segera mengikuti langkah warga yang tengah berlari-larian ke ujung jalan. Pencuri itu seorang lelaki, sedang terpojok diujung desa yang buntu. Warga membawa si pencuri dengan tatapan penuh amarah dan menyeret layaknya hewan yang mati. Seperti tak layak diberi belas kasihan. Yang terlihat dalam raut wajah mereka hanyalah emosi dan bengis.
Tanpa aba-aba, warga segera menghajar habis-habisan hingga tak ada ampun yang tersisa, hingga si pencuri tak berdaya lagi. Tergeletak di jalan dengan penuh luka dan air mata.
“Sudah-sudah. Jangan main hakim sendiri!“ teriak Pak Bejo dengan napas terengah-engah.
“Tidak bisa, Pak. Dia sudah mencuri.“ jawab salah satu warga.
“Iya, saya tahu tapi lebih baik kita dengar penjelasan lebih dulu.“
“Sudah jelas-jelas ia mencuri. Apa lagi yang perlu dijelaskan?“ Nampak sekali wajahnya penuh emosi.
“Tak ada kata maaf untuk pencuri!“ timpal salah seorang warga.
“Ada baiknya jika pencuri ini dibawa kerumah Pak RT atau Pak RW. Kalian mau masuk penjara bersama si pencuri ini dengan pasal main hakim sendiri?“
Nampak semua warga berkasak kusuk mendengar perkataan Pak Bejo. Terdengar Isak tangis pencuri karena lebam yang terdapat di tubuhnya. Darah yang mengalir tak hanya di hidungnya, tetapi mulutnya sampai memuntahkan darah segar. Edo nampak tak tega melihat kejadian itu. Warga yang tetap tidak setuju dengan saran Pak Bejo, lalu menggiring pencuri dengan tangan diikat dengan keadaan sudah tak berdaya dan pasrah.
“Mau diapakan pencuri ini?“
“Sudah. Ayo bawa ke kantor polisi saja.“
Semua warga terlihat masih dengan emosi yang menggebu-gebu.
“Ampuni saya, Pak. Maafkan saya. Saya tak akan mengulanginya lagi.“
“Jangan kasih ampun, besok pasti diulangi lagi!“ teriak salah satu warga.
“Bapak orang mana? Kenapa bapak mencuri di kampung ini?“ tanya Pak RT.
“Saya orang kampung sebelah Pak. Saya kepepet karena kondisi ekonomi, Pak.“
“Alasan klasik. Semua orang juga butuh uang, tapi tidak dengan mencuri milik orang lain.“
“Saya dan istri saya baru saja di-PHK, Pak. Kami hanya punya uang untuk dua minggu. Selepas itu kami tidak bisa makan. Kondisi ini membuat saya bingung, Pak dan saya nekat melakukan hal ini karena dua hari yang lalu anak saya meninggal akibat maag… “
Pencuri itu menahan tangis dan luka. Warga mulai melunak. Raut wajahnya berubah kesedihan, bukan lagi tatapan bengis.
“Jika saya dipenjara, bagaimana nasib anak dan istri saya? Dalam kondisi seperti ini meminjam uang pun tidak mudah. Saya mohon, Pak. Maafkan saya. Saya tak akan mengulanginya lagi.“
“Berarti kamu maling yang selama ini membuat kami resah?“ tanya Pak RT.
“Bukan Pak, saya baru kali ini mencuri.“ jelasnya.
“Jangan beri ampun. Dia yang menyebabkan kampung kita tidak tenang, resah dan kehilangan barang berharga.“ suara seorang warga yang terlihat memanas-manasi warga yang lain.
“Bunuh saja dia agar pencuri lain jera!“
“Setuju!!“ Terlihat semua warga setuju dengan ucapan seorang warga tanpa menunggu aba-aba. Hampir semua warga menghajar habis-habisan. Pak Bejo berusaha memisahkan warga yang penuh amarah, namun mereka terjatuh oleh dorongan warga yang lain. Pencuri tersebut diinjak kakinya, diludahi badannya, dilempari batu, sampai akhirnya pencuri sudah tak berdaya.
“Dia tak bernapas!“ suara Edo berhasil membuat seluruh warga berhenti melakukan aksi tindakan kekerasan tersebut. Pak RT yang tengah sibuk menelpon pihak berwajib untuk menangani tindakan warganya ini. Seluruh warga nampak panik sekali.
“Bagaimana ini?“
“Bakar saja hingga tak tersisa.“
“Bawa ke rumah sakit atau kalian semua masuk penjara,“ sahut Pak Bejo.
“Ayo, segera lakukan tindakan agar pencuri ini selamat dan kita terbebas dari jeratan hukum.“
Salah satu warga segera mengambil mobil dan mengangkat si pencuri ke dalamnya. Terlihat sekali wajah mereka panik melihat pencuri yang sudah tak bergerak.
Mobil memasuki rumah sakit. Terlihat perawat sudah siap-siap mendorong brankar. Mereka berlari menghampiri mobil dan segera membawa pasien ke ruang IGD.
Belum sempat Pak Bejo pulang, dokter datang menghampiri.
“Siapa keluarganya?“ tanya dokter.
“Saya.“ sahut Pak Untung.
“Baik, pasien ini mengalami kekerasan diseluruh tubuhnya. Mohon maaf, pasien tidak terselamatkan. Saya permisi dulu Pak.“ jelas dokter.
Pak Bejo dan Pak Untung hanya saling memandang tanpa berbicara sepatah kata pun. Berapa polisi datang dan mulai meminta penjelasan kepada Pak Untung selaku ketua RT dan Pak Bejo sebagai saksi.
Penulis: Nita Jepi Tamara
Reupload tulisan dari Nita Jepi Tamara yang hilang dikarenakan kesalahan sistem