Disahkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) pada tanggal 24 September 1960 telah menjadikan tonggak penting dalam hukum Nasional Indonesia terutama dalam pembaruan agraria. UUPA ini hadir untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah yaitu dengan dilakukannya Reforma Agraria (Pembaharuan Agraria). Oleh karenanya sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres RI) No. 169 tahun 1963 ditetapkanlah tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional.
Reforma agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk pemanfaatan rakyat kecil, berarti memastikan petani dapat melakukan pekerjaannya di atas tanah yang menjadi miliknya sendiri. Sistem ekonomi neoliberalisme yang didengungkan oleh Kapitalisme sangat tidak visible. Kapitalisme Neoliberal tidak layak lagi untuk dipikirkan, bahkan bukanlah alternatif. Beberapa perusahaan menghilang ketika terjadi krisis pandemi. Justru, Kelompok pedesaan, masyarakat adat, petani, nelayan, kaum miskin perkotaan serta para buruh saling membantu dan saling gotong royong, disitulah kekuatan solidaritas sesama.
Selain itu, reforma agraria dalam berbagai regulasi maupun kebijakan yang ada tidak menjiwai semangat pengakuan Konstitusional masyarakat adat, serta tidak menjiwai UUPA No.5/1960 dan semangat TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam), dan juga tidak menjiwai semangat Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/2012. Berbagai kebijakan yang lahir justru bertumpu pada semangat menolak keberadaan masyarakat adat dan hak asal-usulnya, terutama hak atas wilayah adat sebagai ruang hidup masyarakat adat.
Tidak hanya penting bagi petani di Indonesia, UUPA juga sangat penting bagi masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang berada di wilayah adat. UUPA yang disahkan pada tahun 1960 tersebut berupaya mewujudkan pengakuan hukum adat dan menempatkan kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum nasional. Pada Pasal 3 dalam UUPA tersebut berbunyi: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Namun, pada saat ini UUPA yang seharusnya memastikan kepemilikan dan penguasaan tanah atau konsolidasi tanah untuk pendekatan terhadap petani dengan lahannya, malah berujung diartikan sebagai tanah yang disediakan untuk kepentingan pembangunan dengan media Bank tanah dibuktikan adanya RUU (Rancangan Undang Undang) Cipta Kerja yang saat ini menuai banyak penolakan.
UUPA memiliki makna penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyat. Secara garis besar apa yang tersirat maupun tersurat dalam tujuan UUPA hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.
Redistribusi tanah tidak ditentukan batasan-batasannya sehingga tidak berubahnya masalah ketimpangan sosial saat ini. Problema dalam bidang agraria ini tidak hanya sekedar kepemilikan lahan, sengketa tanah dan harga hasil panen tapi jauh lebih banyak di dalamnya.
Bahkan petani berkata untuk apa memperingati hari tani apabila tiap hari justru harga selalu murah tanpa pengupayaan dari pemerintah untuk menstabilkan harga. Namun saat harga melambung tinggi pemerintah baru melakukan upaya perbaikan. Dalam hal ini pemerintah memang salah namun akan jauh lebih salah jika masyarakat hanya berdiam diri menerima kebijakan dengan segala ketidakadilannya, sebab pada dasarnya pemerintah dipilih oleh rakyat.
Hal ini membuktikan bahwasannya UUPA masih hanya sekedar hiasan. Para petani yang seharusnya sejahtera justru merasakan sebaliknya. Banyak sekali berdiri Serikat Tani di Indonesia dan organisasi-organisasi yang memfokuskan dirinya pada gerakan penolakan tindakan semena-mena yang dilahirkan dari kebijakan yang tidak pro terhadap petani. Namun hingga saat ini tetap saja masih jauh dalam keberhasilan. Masih banyak terjadi perampasan lahan secara semena-mena, lahan-lahan pertanian yang diambil alih dan disengketakan, bahkan penindasan terhadap petani. Yang seharusnya kita lakukan baik pemerintah maupun petani adalah saling mengevaluasi kenapa hal-hal seperti ini masih saja terjadi. Kesadaran bahwa kesejahteraan masyarakat adalah hal yang utama harus menjadi prinsip pemerintah dalam membuat kebijakan sehingga tidak hanya menguntungkan satu atau segelintir orang saja namun menguntungkan dan melindungi apa yang menjadi hak masyarakat serta mewujudkan amanat Konstitusi dan cita-cita UUPA.
Penulis : Alviana Eka dan Evi Dwi
Editor : Tuti W