Opini – 1 Oktober 2023 tepat satu tahun terjadinya tragedi mengerikan dalam sepak bola tanah air yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Pertandingan sepak bola yang mempertemukan dua klub besar di Jawa Timur antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Kedua klub tersebut memiliki basis suporter terbesar dalam sepak bola Indonesia, Arema dengan Aremania dan Persebaya dengan Boneknya.
Laga derby Jawa Timur tersebut berakhir ricuh. Kericuhan diawali dengan turunnya supporter ke lapangan sebagai bentuk ungkapan kekecewan Aremania karena timnya harus menelan kekalahan 3-2 di kandangnya sendiri. Terjadilah chaos antara penonton dengan aparat keamanan. berbagai informasi dari media menyebutkan puncak dari tragedi tersebut ketika aparat keamanan menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Sebanyak 135 jiwa menjadi korban meninggal dalam tragedi yang mengerikan tersebut.

Satu tahun sudah Tragedi Kanjuruhan, di berbagai penjuru kota Malang masih banyak bertebaran spanduk-spanduk, poster yang menyerukan keadilan dalam kasus Kanjuruhan. Namun agaknya sampai saat ini, tidak ada itikad baik negara untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan. Belum terpenuhinya keadilan bagi korban dan keluarganya. Kesannya seakan pemerintah enggan mengusut secara tuntas dan cenderungi ditutup-tutupi, paling parah melupakannya. Pemerintah dan aparat bisa dengan mudah merekayasa pengadilan dengan menggunakan kekuasaannya. Misalnya, dalam putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis bersalah justru turut menyalahkan angin yang diklaim menyebabkan hilangnya 135 nyawa. Ada juga usaha untuk menghilangkan barang bukti dengan dalih merenovasi stadion Kanjuruhan.

Berbagai upaya dan kegiatan dilakukan dari banyak kalangan terutama aktor non-pemerintah dan masyakarat sipil untuk merawat ingatan tentang Kanjuruhan. Forum diskusi dan seminar diselenggarakan para akademisi untuk mengkaji dampak dari tragedi Kanjuruhan dari berbagai sudut pandang. Misalnya cerita Pak Midun yang bersepeda dari Malang sampai Jakarta memberi ingatan kita bahwa korban kasus Kanjuruhan ini belum mendapat keadilan oleh negara. Pada akhir September, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Menggelar pameran 2 dimensi untuk mengingat 1 tahun tragedi Kanjuruhan. Jika pemerintah punya banyak cara untuk melupakan, kita punya beribu cara untuk merawat ingatan Kanjuruhan.

Pelanggaran Hak Asasi
Komnas HAM menyatakan bahwa terdapat pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan. Secara normatif, definisi pelanggaran HAM terdapat pada Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat, baik disengaja atau tidak disengaja sehingga mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Terdapat tujuh pelanggaran HAM dalam kasus Kanjuruhan diantaranya penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan, pelanggaran hak atas keadilan, pelanggaran hak hidup bagi 135 nyawa yang menjadi korban, pelanggaran terhadap hak Kesehatan, pelanggaran hak rasa aman, pelanggaran atas hak anak 38 anak meninggal dunia dalam kerusuhuan tersebut dan terakhir bisnis yang mengabaikan hak asasi manusia.

Komnas HAM tidak mengaktegorikan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM Berat karena tidak terdapat unsur “bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Maka imbasnya pada hak pemulihan bagi keluarga dan korban kasus Kanjuruhan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, hanya korban pelanggaran HAM berat yang mempunyai hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Belum terpenuhinya hak keadilan bagi korban dan keluarga dari negara sekaligus sebagai aktor penyebab kerusuhan Kanjuruhan melalu aparat keamanan. dengan vonis ringan pengadilan bagi pelaku dan renovasi stadion Kanjuruhan setelah selesainya proses hukum menunjukan bahwa tidak ada itikad baik dari negara untuk mengusut tuntas dan memberikan keadilan yang seadilnya bagi korban Tragedi Kanjuruhan.
Merawat Ingatan Kanjuruhan
Upaya pemerintah untuk melakukan renovasi terhadap Stadion Kanjuruhan menjadi bukti bahwa pemerintah berupaya menghapus ingatan kita tentang tragedi itu walaupun keadilan masih belum didapat para korban dan keluarga kasus Kanjuruhan. Sebagai masyarakat sipil kita harus menguatkan solidaritas dan persatuan di tengah kekerasan aparat keamanan negara yang menjadi-jadi. Negara sebagai kekuasaan penjamin HAM harus melindungi segenap hak asasi seluruh warganya. Sebelum pelaku mendapatkan hukuman yang sepantasnya dan korban belum mendapat hak keadilannya, kita akan selalu mengingatkan negara bahwa mereka masih punya utang “keadilan” dalam tragedi Kanjuruhan. Penutup saya teringat puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul Ke mana Anak-anak Itu, kutipannya: “Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita curi dari Tuhan hak menentukannya”. Kematian bukan suatu kesalahan tapi apa penyebabnya yang wajib dipertanyakan.
Penulis : Misrof aditya