Opini – Berbicara mengenai Feminisme, tentu kita semua akan terbayang dengan gerakan kesetaraan gender khususnya bagi kaum perempuan. Tapi yang selama ini saya secara pribadi sering bertanya-tanya “Gimana sih gerakan feminisme di Indonesia selama ini?”, terus “Gimana tuh stereotype orang-orang dengan gerakan ini?”.
Seperti yang bisa kalian baca di banyak literatur, pada dasarnya gerakan feminisme merupakan gerakan terstruktur yang bertujuan untuk membangun, mendefinisikan, maupun mencapai kesetaraan gender mulai dari lingkup ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Gerakan feminisme ini kental dengan gerakan yang dilakukan banyak perempuan di Indonesia. Tapi, gerakan ini juga memungkinkan bagi laki-laki untuk mengikutinya, sebab dalam gerakan ini juga banyak poin penting yang melibatkan laki-laki.
Jika kita telusuri, gerakan feminisme di dunia lahir pada abad ke-18 yang dimulai dengan adanya dorongan kaum perempuan agar mereka bisa mendapatkan hak pendidikan, hak upah yang layak, hak reproduksi, serta hak untuk disetarakan seperti laki-laki pada umumnya. Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme mulai muncul di akhir abad ke-19 saat Indonesia masih dalam masa penjajahan. Gerakan yang salah satunya dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini menjadi motivasi bagi banyak perempuan dari zaman dahulu hingga saat ini untuk bangkit memperjuangkan haknya sebagai manusia dan sebagai perempuan.
Di Indonesia, baik dahulu bahkan mungkin sampai saat ini masih berkembang mindset “Perempuan ya di rumah, urus anak, urus suami. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi. Ujung-ujungnya juga balik ke dapur toh?”. Nah salah satu contoh seperti inilah yang sedang diperjuangkan oleh gerakan perempuan untuk tidak lagi tertanam di pikiran masyarakat. Terlebih di lapangan, baik itu di dunia pendidikan hingga pekerjaan, banyak sekali hak-hak perempuan yang belum mampu dipenuhi, bahkan terkadang terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Masih banyaknya kasus kekerasan seksual, akses pendidikan bagi perempuan yang masih dibatasi oleh individu, tingkat keterwakilan perempuan dalam pemerintahan yang belum mencapai target, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang seharusnya menjadi concern semua pihak agar hak kaum wanita ini bisa terpenuhi.
Lalu bagaimana gerakan feminisme di Indonesia berjalan? Banyak sekali komunitas-komunitas perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia yang bisa kita temui baik di sosial media maupun secara langsung di beberapa daerah di Indonesia. Tujuan mereka secara umum ialah sama, yaitu mendorong perempuan untuk berani maju dan menunjukan kemampuannya, serta mendorong adanya kesetaraan gender di semua lingkup kehidupan sehari-hari. Banyak komunitas perempuan yang enggan menyebut diri mereka sebagai feminis, mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai pengikut gerakan kesetaraan gender. Hal ini tentu beralasan, sebab feminisme selain belum dikenal secara luas di Indonesia, juga disebabkan masih banyaknya pandangan negatif masyarakat terhadap gerakan feminisme ini.
Gerakan feminisme acap kali ditentang oleh beberapa pihak. Gerakan mereka yang menitikberatkan pada kesetaraan gender kerap dianggap berseberangan dengan banyak komunitas agama, komunitas konservatif, serta banyak pihak lain yang memang secara pribadi tidak setuju dengan gerakan feminisme ini. Beberapa stereotype yang masih berkembang di masyarakat tentang feminisme ialah seperti feminisme dianggap sebagai gerakan anti laki-laki, gerakan yang berusaha meninggikan derajat perempuan di atas laki-laki, budaya barat yang buruk, ataupun gerakan anti terhadap pernikahan. Hmm, padahal menurut berbagai sumber, hal-hal yang tadi disebutkan hanyalah kekeliruan masyarakat saja dalam menilai gerakan feminisme ini. Meskipun memang patut kita akui terdapat beberapa pihak yang mengaku sebagai kaum feminis, namun jalan yang mereka lalui justru berseberangan dengan ideologi masyarakat dan tentu saja juga berseberangan dengan esensi feminisme itu sendiri.
Lalu bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap gerakan feminisme?. Tirto.id bersama Jakpat membuat survei terkait dengan topik feminisme guna menilai pandangan masyarakat terkait dengan isu feminisme di Indonesia. Survei yang dilakukan terhadap 1.500 responden dengan tingkat keseimbangan hampir 50 : 50 antara perempuan dan laki-laki ini menunjukan hasil yang menyatakan bahwa sebagian besar responden mendukung kesetaraan gender bagi perempuan, namun sebagian besar dari mereka enggan melabeli diri mendukung dan menjadi bagian dari gerakan feminisme. Terlepas dari keengganan sebagian masyarakat melabeli diri mendukung gerakan feminisme, namun riset ini menunjukan bahwa sebagian besar responden mengasosiasikan feminis sebagai gerakan kesetaraan gender. Tentu ini hal baik, itu artinya sebagian masyarakat telah teredukasi mengenai kesetaraan gender dengan baik.
Isu feminisme di Indonesia memang masih menjadi isu yang sensitif untuk dibahas, baik di sosial media maupun di media mainstream. Masih adanya pandangan negatif tentang feminisme oleh sebagian masyarakat yang menyatakan mereka sebagai gerakan anti laki-laki, gerakan anti pernikahan, gerakan yang berusaha mengungguli laki-laki, dan tentu saja oknum yang mengatasnamakan feminis padahal yang disampaikan bertentangan, menjadi alasan masih banyaknya masyarakat yang tidak setuju dengan gerakan ini.
Pandangan negatif terhadap gerakan feminisme ini terjadi karena kurang tersosialiasainya gerakan ini dengan baik. Selain itu, di Indonesia sendiri kesetaraan gender yang sejak dahulu diperkenalkan lebih cenderung menggunakan istilah emansipasi wanita. Berbicara mengenai emansipasi wanita, sebenarnya apa yang menjadi tujuan dari emansipasi wanita juga menjadi bagian dari tujuan adanya feminisme. Feminisme sekuler yang berkembang di Indonesia banyak ditentang oleh banyak pihak, alasannya jelas karena apa yang mereka suarakan memang terkadang bertolak belakang dengan konsep dan nilai-nilai agama. Feminisme sekuler inilah yang pada akhirnya terkadang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, sebab konsep yang mereka usung memang terkadang tidak selaras dengan nilai-nilai yang selama ini berkembang di masyarakat.
Penulis sendiri berpandangan bahwa konsep kesetaraan gender dan upaya perlindungan hak-hak perempuan perlu untuk terus dikawal dan diusahakan baik oleh negara maupun masyarakat itu sendiri. Banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak perempuan, mulai dari kekerasan seksual, sulitnya akses pendidikan bagi wanita, hak reproduksi, hak atas kesetaraan dalam pekerjaan, hak berpolitik dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan, serta hak dalam ekonomi, sosial, dan budaya menjadi bukti bahwa masih banyak hal yang perlu untuk dievaluasi dari perlindungan hak-hak perempuan ini. Penulis sepenuhnya mendukung daya upaya penghormatan terhadap hak-hak perempuan, segala bentuk emansipasi wanita asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai religius, budaya, dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan sudah sepatutnya mampu menaruh penghormatan terhadap hak wanita dengan sebaik mungkin. Penghormatan terhadap hak perempuan juga merupakan salah satu ajaran agama, dan penulis rasa semua agama selalu mengajarkan umatnya untuk menghargai wanita dan tidak mengekangnya dalam batasan-batasan yang ekstrem.
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq
Editor : Nita Jepi Tamara