Beberapa pekan ini publik di tanah air kembali dibuat geram dengan kasus represifitas aparat keamanan kepada masyarakat Rempang di Batam Provinsi Kepulauan Riau. Dalam kasus ini, aparat yang bertugas membantu pembebasan lahan melakukan kekerasan terhadap warga sekitar yang menolak penggusuran rumah dan lahan milik mereka yang nantinya akan dibuat area industri milik investor.
Diketahui bahwa pemerintah ternyata telah melakukan teken perjanjian dengan beberapa pihak terkait rencana pembangunan industri di Pulau Rempang. Wilayah Rempang sendiri memang merupakan daerah yang sangat strategis. Terletak di dekat Singapura yang merupakan salah satu negara dengan perekonomian yang besar dan menjadi lalu lintas perdagangan dunia membuat pemerintah gelap mata dengan proposal pembangunan industri yang nilai investasinya sangat fantastis ini. Namun, pembangunan perekonomian yang dilakukan ini lagi dan lagi kembali menggunakan budaya lama, yaitu paradigma membangun dengan menggusur.
Agaknya mungkin saja pemerintah dan pihak terkait lainnya akan menolak cap penggusur ini. Patut diyakini mereka akan lebih senang menyebutnya dengan pembebasan lahan melalui sistem ganti untung. Sistem ini bisa saja disebut demikian jika pembebasan lahan yang dilakukan memang melalui pendekatan kekeluargaan yaitu dengan adanya persetujuan dari masyarakat sebagai pemilik lahan serta adanya kesepakatan win-win solution yaitu sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Namun, apabila yang dilakukan oleh pemerintah hanya menggusur tanpa adanya kesepakatan serta melalui jalan represif dengan kekerasan dan baku hantam, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk dari pelanggaran asasi manusia.
Manusia oleh Tuhan ketika lahir di dunia diberikan hak hidup, yang diturunkan menjadi banyak hak asasi, termasuk di dalamnya hak terbebas dari rasa takut, hak berpendapat, hak mendapatkan tempat tinggal yang layak, hak sosial, hak ekonomi, serta hak atas hukum. Dalam kasus penggusuran ini, apa yang dilakukan oleh para pihak terkait tentu saja telah melanggar hak yang warga miliki. Terlebih kasus penggusuran yang ada kerap kali terjadi pada lahan dan tanah pribadi. Apabila yang dilakukan adalah penggusuran terhadap bangunan liar yang berdiri di atas tanah negara atau di tempat-tempat tertentu yang merupakan area publik, mungkin saja hal tersebut masih dapat dimaklumi, sebab juga diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, apabila penggusuran yang dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di lahan pribadi, atau tanah yang secara turun-temurun merupakan peninggalan nenek moyang maka tentu saja hal ini telah melanggar hak warga negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (4) secara tegas telah mengamanatkan “Setiap orang berhak mempunyai hak pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Apabila bunyi pasal ini kita cermati, kata siapa pun di sini tentu dapat diartikan sebagai semua pihak termasuk pemerintah. Walapun sebenarnya pengambilalihan hak pribadi dapat dilakukan dalam keadaan tertentu seperti untuk kepentingan pemeriksaan ataupun dalam hal digunakan untuk kepentingan sosial, namun dalam kasus untuk kebutuhan investasi maka hal ini tidak dapat dibenarkan secara cuma-cuma. Dalam pembebasan lahan ini juga harus dilakukan dengan mekanisme hukum yang berlaku dan dengan tetap melihat faktor ekonomi yang berlaku.
Ganti untung dalam hal pembebasan lahan untuk pembangunan tetap harus dilakukan dengan adil dan melalui mekanisme yang benar sehingga semua pihak yang berkepentingan dapat diakomodir sebaik mungkin. Bukan hanya mekanisme ganti untung saja, mekanisme dalam proses pembebasan lahan juga harus tetap memperhatikan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu pihak pembeli dan masyarakat selaku penjual. Apabila terdapat ketidaksepakatan, khususnya dari pihak penjual baik akan harga ataupun penolakan untuk digusur, maka pihak yang melakukan pembangunan tidak boleh meneruskan pekerjaannya. Tidak boleh ada paksaan atau ancaman dari pihak terkait jika masyarakat enggan menyerahkan tanah atau lahan miliknya.
Ganti untung dalam hal pembebasan lahan untuk pembangunan tetap harus dilakukan dengan adil dan melalui mekanisme yang benar sehingga semua pihak yang berkepentingan dapat diakomodir sebaik mungkin.
Oleh sebab itulah, dalam melakukan pembangunan harus terdapat alternatif lainnya, baik berkaitan dengan tempat, waktu, pendanaan dan lain sebagainya. Pembangunan untuk alasan apapun harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan kesepakatan bersama. Bangsa Indonesia secara tegas telah membangun budaya kekeluargaan melalui gotong-royong. Budaya ini tentu saja harus ditanamkan secara berkelanjutan. Tujuannya tentu saja untuk meraih kemanfaatan secara adil baik bagi negara, masyarakat, maupun pihak lain yang memiliki kepentingan di Indonesia.
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq
Editor : Misrof Aditya