LPM Suprema — Abdurrahman (AR) Baswedan seorang Pemikir Islam Modernis, Jurnalis, Politikus, Budayawan, hingga Diplomat keturunan Arab kelahiran Surabaya, 9 September 1908 itu, menentang adanya status sosial yang kala itu sangat tajam di kalangan keturunan ataupun orang asli Arab yang dibawa ke indonesia.
Keturunan Arab A.R. Baswedan, didapatnya dari kakek yang bernama Umar bin Abubakar bin Muhammad bin Abdulah kelahiran asli Hadramaut yang sekarang dikenal sebagai negara Yaman. Kakeknya bersama orang-orang Arab lainnya, datang ke Indonesia sebagian besar dengan tujuan berdagang dan di samping itu menyiarkan ajaran Agama Islam.
A.R Baswedan semasa itu, dibesarkan dalam keluarga dan masyarakat Muslim. Karena hal tersebut, “Lingkungan Keluarga dan masyarakat tempat A.R. Baswedan dibesarkan inilah yang telah mewarnai kehidupan rumah tangganya di kemudian hari dan juga sikap pribadinya,” tulis Suratmin, dalam buku Abdurrahman Baswedan. Karya dan Pengabdiannya (1989).
Buku itu juga menyebutkan, saat A.R Baswedan masih kecil, perbedaan status sosial masih sangat kentara. Menelusuri keluarga khususnya silsilah serta penggolongan – penggolongan kakeknya yang seorang asli Arab. Ada empat secara garis besar mereka dibagi menjadi berbagai golongan ; pertama, golongan yang menyebutkan dirinya sebagai keturunan nabi yang terkenal di Indonesia dengan kaum “kaum sayyid”. “Golongan ini dalam kehidupan masyarakat merasa lebih super dan berwenang disegala hal daripada golongan lainnya,” ungkap buku Abdurrahman Baswedan. Karya dan Pengabdiannya (1989); Kedua, golongan bersenjata atau sering disebut dengan “qabili”, mereka berkuasa walaupun tidak dalam pemerintahan, tetapi mereka mempunyai peran penting di mana mereka berada; ketiga, golongan para pedagang yang juga sering disebut “syekh” atau “ulama”; keempat, petani dan buruh yang kerap disebut juga golongan lemah. Untuk golongan “sayid” ini sering dianggap sakral dan amat kramat.
Kepekaan dan pemikiran kritisnya mulai terlihat sedari ia masih kecil. Sikap kritisnya terhadap adat tradisi kehidupan masyarakat islam pada kala itu; sebagai contoh disaat ada seseorang meninggal dunia, setelah prosesi pemakamannya selesai, biasanya khusus orang Islam Jawa melakukan serangkaian acara di malam harinya dengan bertahlilan selama tujuh hari berturut-turut. Hal ini juga dilakukan oleh keluarga A.R. Baswedan.
“Golongan ini dalam kehidupan masyarakat merasa lebih super dan berwenang disegala hal daripada golongan lainnya”.
Hal tersebut juga dibuktikan dikala A.R. Baswedan menginjak umur 11 tahun. Suatu hari ada sebuah kabar buruk yang menimpa keluarganya, kabar buruk tersebut ialah kematian neneknya, Syaekhah. Di waktu itu, A.R. Baswedan tak mau melakukannya (tahlilan dan lain lain). Menurut dia, hal tersebut merupakan sebuah bid’ah (berlebih-lebihan dalam beribadah).
Hal ini, menjadi salah satu gebrakan pemikiran A.R. Baswedan, ia menganggap tradisi-tradisi tersebut bertentangan dengan keyakinannya. Bisa dilihat keberanian A.R Baswedan melanggar apa yang dianggap dia tak sesuai dengan jalan pemikirannya di tengah ketatnya adat.
Tak berhenti di situ, dobrakan pikiran A.R Baswedan juga pernah menyasar pada tradisi simbolik atau simbol identitas di golongannya. Ceritanya seperti ini, pada kesempatan tertentu foto A.R. Baswedan yang mengenakan pakaian adat Jawa diterbitkan pada surat kabar Matahari, Semarang (1934). Sontak, kala itu membuat gempar di kalangan Arab. Para keturunan Arab tersebut menganggap hal itu sangatlah aneh dan dihitung telah meninggalkan kearabannya.
Terlebih juga dengan ungkapan A.R. Baswedan pada Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai tanah airnya, lagi-lagi membuat gempar masyarakat Arab. Menjelang lahirnya Partai Arab Indonesia (PAI), A.R. Baswedan sempat menulis panjang yang dimuat Matahari dengan judul “Peranakan Arab dan Totoknya” di dalam artikel tersebut A.R. Baswedan menuliskan soal kalangan Arab dan Totoknya, yang membuat kebanyakan masyarakat Arab menyambat, dan mengartikan bahwa tulisan A.R. Baswedan seolah-olah telah mendiskreditkan Arab totok.
Pendidikan
A.R. Baswedan sedari kecil telah mendapat pendidikan, tepatnya pada saat ia berumur lima tahun. Ia mengenyam pendidikan dasar di Madrasah Al-Khairiyah, sekolah tersebut dekat dengan rumahnya dan Masjid Ampel, dan kebanyakan diisi oleh orang-orang peranakan Arab dan bumiputra.
Ia pindah sekolah setelah (umurnya lumayan besar). Sebelumnya, dikarenakan A.R. Baswedan mempunyai pendirian dan sikap yang keras, apabila tidak ada kecocokan antara dia dengan guru di Sekolahan, ia tak segan-segan untuk pergi atau keluar dari tempat menimba ilmu tersebut, hal ini terbukti di saat sekolahan sebelumnya tidak ada kecocokan dengan dia, ia rela untuk pindah sekolahan yang lainnya, sejurus kemudian ia akhirnya pindah sekolah di madrasah Jakarta lebih tepatnya di Madrasah Al-Irsyad, dengan alasan tersebut.
Tak begitu lama di Jakarta, A.R. Baswedan lantas kembali pulang ke Surabaya. Ada sekelumit keinginan ia untuk kembali kesana untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Akan tapi, di lain sisi Ayahnya pada waktu itu sedang mengidap penyakit jantung dan melihat Ayahandanya meringis kesakitan bila saat penyakitnya kembali kambuh, karena alasan tersebut, akhirnya A.R. Baswedan mengurungkan niatnya itu. Di Suatu kesempatan Ayahnya bertanya kepada A.R. Baswedan, “apakah ia rela meninggalkan ayahnya sedang sakit?” Tanya Ayahnya seperti dikutip dalam buku Abdurrahman Baswedan. Karya dan Pengabdiannya (1989), mendengar perkataan Ayah yang sedang sakit itu, lantas ia terpaku diam dan langsung tak meneruskan lagi sekolahnya di Jakarta.
Suatu kesempatan, pada saat di Surabaya telah berdiri Madrasah Arab modern bernama Hadramaut School. Tak pelak, bisa dikatakan sekolah tersebut dianggap modern karena kala itu murid-murid sekolah tersebut bercela dan diajarkan sastra Arab. Di sekolah ini A.R. Baswedan mulai memupuk kemampuannya dan meningkatkan kemampuan berbahasa Arabnya.
A.R. Baswedan ketika masuk sekolah (Hadramaut) tersebut, dalam benaknya terselip dua keinginan. Pertama, di satu pihak ia berkeinginan belajar, karena ia tak bisa melanjutkan sekolahnya di Al Irsyad Jakarta. Kedua, di sisi lain, sekolahnya (Hadramaut) sekarang, telah mengajarkan bahasa Arab dan Sastra Arab yang memuaskan batinnya.
Menginjak umur akil baligh, A.R. Baswedan dengan keinginannya sendiri memutuskan masuk ke kursus Nederlands Verbond, Suatu kursus yang nantinya akan menyiapkan pegawai rendahan bagi Pemerintah Hindia Belanda, terkhusus bahasa Belanda.
Alat Perjuangan
Pendirian Partai Arab Indonesia (PAI) berjalinan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia untuk kaum peranakan Arab. Pencetusan ide ini merupakan “revolusi pikiran” yang selama ini selalu diperjuangkan A.R. Baswedan.
Pada tahun 1932, A.R. Baswedan melakukan perjalanan ke Surabaya untuk memasarkan usaha bapaknya yang baru-baru ini membuka usaha rokok kretek, saat sedang di jalan kebetulan ia berpapasan dengan Liem Koen Hian, dia adalah pemimpin redaksi harian Tionghoa Melayu. Sejenak mereka mengobrol dan sejurus kemudian Liem Koen menawarkan kerjasama dalam staff redaksi surat kabarnya. Tak ayal A.R. Baswedan pun menerima tawaran tersebut, dan keesokan harinya ia sudah mulai bekerja dalam harian Sin Tit Po yang pro pergerakan nasional.
Kakek Gubernur Jakarta, Anies Baswedan ini, melalui karya jurnalistik dan berpolitik ia ingin merintis usaha untuk mendamaikan perseteruan yang sebelumnya telah terjadi antara peranakan Arab asli dengan Arab totok, ia berharap dengan terwujudnya persatuan antara keduanya dan dengan asa politik dapat digunakan sebagai senjata bersama-sama dengan pergerakan nasional yang ampuh melawan kolonialisme serta imperialisme.
Semasa hidupnya, A.R. Baswedan menjadi pilar dalam dunia jurnalistik, ia pernah menduduki beberapa jabatan, diantaranya : Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932), Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dulu dipimpin dr. Soetomo (1933), Redaktur Harian Matahari Semarang (1934), Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar, Pemimpin Redaksi, Majalah internal PAI Aliran Baroe (1935-1939), Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an), Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah, Pembantu Harian Mercusuar Yogyakarta (1973), serta Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).
Saat pra kemerdekaan Indonesia, A.R Baswedan sempat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia dengan para tokoh lain, merancang landasan bernegara, lantas lahirlah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sampai saat ini masih digunakan bangsa Indonesia walaupun sudah beberapa kali diamandemen.