Semarang – Kolektif Hysteria menggelar festival dua tahunan rutin di tempat khusus (sites specific art project biennale) bertempatkan di Kampung Nelayan Tambakrejo, Tanjung Mas, Semarang Utara, Semarang.
Tahun ini festival Penta Klabs mengusung tema: “Malih Dadi Segara” (Berubah Menjadi Laut). Tema tersebut merespon isu perubahan tata ruang akibat manusia beserta interaksinya dengan alam yang membuat beberapa daerah di pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) terendam
air.
Penta Klabs IV menampilkan 37 Projek Seni Situs Spesifik, 10 Musik & Pertunjukan dan 20 pembicara Simposium. Acara tersebut berlangsung selama 5 hari mulai 17 – 21 Desember 2022. Festival ini terdiri dari 3 rangkaian acara utama yaitu pameran/art project, pararel event, dan symposium dengan melibatkan multistakeholder.
Rangkaian acara hari ketiga, Senin (19/12), diawali dengan simposium pada pukul 13.30 sampai 17.10 dengan kajian Adaptasi Mitigasi Kawasan Pesisir dan Kebijakan/Pengetahuan dalam Pengelolaan Pesisir. Setelah asar, Bukit Buku Semarang mengadakan pameran buku Semarang Writers Week di depan plateran masjid.
Menjelang magrib, masyarakat Tambakrejo antusias melihat pertunjukan musik keroncong dari Orkes Keroncong Sonatiwa. Acara dimulai lagi setalah sholat isya, persembahan Dongeng Ziarah Laut dari komunitas kesenian Lanang Wadon.
Dongeng Ziarah Laut merupakan Project Art sebagai respon isu situs spesifik makam desa Tambakrejo yang tenggelam akibat fenomena yang terjadi di pantai pesisir utara Jawa. Lanang Wadon merupakan komunitas yang telah berdiri sejak tahun 2015 dan bergerak dibidang kesenian yang berfokus pada isu anak-anak.I
Informasi tersebut disampaikan salah satu penggiat Lanang Wadon, Ajeng Ratnasari Poernomo (26). Ajeng mengaku, Dongeng ziarah laut tersebut didapat dari hasil riset tim Lanang Wadon yang menemukan sebuah pemakaman di kampung Tambakrejo terendam air.
“Akhirnya dikemas menjadi naskah dongeng menceritakan banyak hewan-hewan laut hidup bahagia di makam yang tenggelam tersebut,” ujarnya kepada Suprema di lokasi, Senin (19/12/2022).
Untuk ceritanya sendiri, kata Ajeng, dikemas dengan nuansa lebih ceria, walaupun pada kenyataannya ceritanya itu sendiri sangatlah menyedihkan.
“Karena kan untuk anak anak ya jadi tentang makam yang tenggelam itu kita kemas bahwa di makam tenggelam itu sudah banyak hewan hewan laut yang hidup di sana kurang lebih kayak gitu,” sambung perempuan asal Semarang tersebut.
Penulis : Misrof Aditya
Penyunting : Dedy Irawan