Akhir 2019 dunia seakan digemparkan dengan sosok baru yang mampu mengubah segala aspek kehidupan. Aktor tak kasat mata yang mampu menembus segala lini negara. Dia bernama “Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2” (SARS-CoV-2) yang kemudian akrab disebut sebagai virus corona. Virus ini telah mengocok ulang kekuasaan di level dunia melalui penyakit yang ditimbulkan, yang disebut dengan Coronavirus diseases 2019 (COVID-19).
World Health Organization (WHO) atau badan kesehatan di bawah PBB menyatakan wabah virus corona atau Covid-19 sebagai pandemi.
Pandemi merupakan epidemik penyakit yang menyebar di wilayah yang sangat luas mencakup lintas benua atau global. Pandemi ditetapkan apabila memenuhi tiga kondisi: menculnya penyakit baru pada penduduk, menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit berbahaya. Serta penyakit tersebut dapat menyebar dengan mudah dan berkelanjutan antar-manusia.
Pendek cerita, virus corona muncul karena ruang hidup atau habitatnya terdesak dan karena itu manusia menjadi sasaran berikutnya untuk dijadikan inang. Poin soal asal-usul virus corona ini belum konklusif. Menurut tulisan yang pernah penulis baca menyebutkan bahwa banyak patogen (bakteri, virus, atau mikroorganisme lain penyebab penyakit) yang tadinya berada dalam habitatnya di hutan, kini bergerak meninggalkan hutan karena hutannya sudah semakin habis. Patogen-patogen itu mencari inang-inang yang baru.
Dari sudut pandang inang seperti manusia, ini adalah penyakit. Begitu cerdik, virus ini memilih tempat yang sangat lunak untuk menjadi basis spasial pengorganisasiannya di paru-paru inangnya. Mereka berdiam dan memperbanyak diri di sana.
Revolusi Covid-19 di bidang politik, mari kita lihat bagaimana geopolitik global dikocok ulang karena kehadirannya. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang sebelum pandemi adalah negara-negara kaya, negara pertama di dunia yang sangat kuat di segala lini, tiba-tiba terlihat berubah setelah didera oleh wabah Covid-19. Tentu saja ada ketimpangan dalam bagaimana cara negara kaya macam negara-negara Eropa Barat menanggapi wabah Covid-19 dengan cara negara Indonesia.
Di sisi lain, kekuatan geopolitik lain seperti China dan Kuba menjadi terlihat begitu jagoan. Sampai saat ini, dunia melihat China berhasil menghadapi ledakan pandemi Covid-19. China seolah lulus menjalani ujian untuk menjadi pusat dari kapitalisme global berikutnya setelah AS, yang kini masih bertarung menyelematkan warganya dari ledakan populasi SARS-CoV-2. Kuba, negara kecil itu, menjadi jagoan karena media-media, terutama media sosial kita, memperlihatkan bagaimana negara itu mengirim dokter-dokternya untuk membantu negara-negara yang sedang kena serangan wabah.
Di tingkat nasional, kocok ulang kekuasaan politik belum terjadi hingga saat ini. Namun sudah terlihat bagaimana wibawa pemerintah pusat semakin berkurang. Pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi yang pada awalnya tidak begitu menghiraukan pandemi korona, harus membayar mahal untuk itu. Pada sekitar akhir Februari 2020, pemerintah menyampaikan akan memberikan insentif bagi pemengaruh (influencer) asing sebanyak 72 miliar Rupiah. Dana insentif itu ditujukan untuk satu hal: menggaet wisatawan, yang tentu saja ujungnya adalah meningkatkan pemasukan. Alih-alih menutup pintu masuk ke Indonesia seperti bandara untuk mencegah masuknya virus corona seperti yang dilakukan negara-negara lain, pemerintah malah mengundang wisatawan agar berbondong-bondong datang ke Indonesia.
Pada akhir Maret 2020, situasi politik sudah berubah, nyaris 180 derajat. Re-alokasi APBN adalah langkah yang disuarakan banyak elit dan tampaknya akan diambil pemerintah. Secara politik pemerintah pusat sudah semakin tergerus kewibawaannya. Media sosial penuh dengan berbagai jejak digital Jokowi dan menteri-menterinya yang sekitar satu bulan sebelumnya menganggap sepele virus corona.
Menanggapi hal tersebut, dimulai dari pemerintah kota Tegal terhitung tanggal 23 Maret 2020 menyatakan sikap untuk local lockdown terhadap kota Tegal. Namun, sepertinya local lockdown belum akan di berlakukan di kota Semarang sebagai Ibukota Jawa Tengah. Mengutip pada point yang disampaikan oleh Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, bahwa “Belum ada cerita lockdown” ujar beliau.
Kemudian langkah yang diambil pemerintah Tegal diikuti oleh beberapa kota lainnya seperti Papua dengan menutup akses bandara, Kalimantan Timur, Surabaya, Tasikmalaya dan Kutaraja di Banda Aceh. Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa pemerintah sudah kehilangan kewibawaanya.
Di lihat dari sisi ekonomi pun tidak kalah menarik. Pabrik-pabrik dengan bahan baku dari, dan yang memasarkan produknya ke China, terbaca sudah terancam bangkrut pada awal Maret 2020.
Lebih jelasnya lagi, sudah banyak pusat perbelanjaan (mall) di Jabodetabek seperti, Summarcon Mall di Bekasi, Plaza Indonesia, Lippo Mall Puri, Senayan City, dan Central Park, tutup untuk meminimalisir penyebaran virus corona.
Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh kongsi-kongsi besar tetapi masyarakat lapis bawah pun demikian. Seperti yang terjadi pada salah satu angkringan di Genuk Indah yaitu Angkringan Pojok, ia mengatakan bahwa biasanya bisa menjual 250 bungkus nasi kucing sekarang hanya 70 bungkus pun masih tersisa.
Bahkan, terpantau setiap hari Dollar mengalami kenaikan dalam Rupiah. Ini adalah sebuah permainan. Permainan besar yang mampu dilakukan oleh penguasa diatas negara yaitu uang.
Berawal dari dicabutnya label negara berkembang menjadi negara maju yang mana negara-negara itu memiliki hubungan yang cukup baik dengan China, termasuk Indonesia. Bagi kalangan awam, ini bisa jadi prestise yang kita dapat karena disejajarkan dengan negara-negara maju lainnya. Namun di balik itu semua ada kompleksitas dalam ketegangan perdagangan multilateral yang efeknya diperluas oleh Amerika Serikat itu sendiri. Hal ini dirasa cukup aneh, mengapa kemajuan suatu negara harus di klaim oleh Amerika Serikat sedangkan negara itu sendiri belum memutuskan, apakah ia mampu untuk disebut negara maju?
Lalu, benarkah Indonesia adalah negara maju?
Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, menilai secara makro Indonesia memang bisa dikategorikan sebagai negara maju. Indikatornya, Indonesia merupakan anggota G20 atau kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia yaitu berada di kisaran 5% dalam beberapa tahun terakhir. Namun, dibalik itu angka pengangguran di Indonesia masih terhitung tinggi, perkembangan penduduk tidak terkendali meskipun pemerintah sudah melakukan upaya melalui Keluarga Berencana (KB), Lebih tinggi angka impor daripada ekspor dan minimnya fasilitas kesehatan yang dapat kita lihat melalui penanganan virus corona saat ini.
Tentu jika suatu negara sudah dikatakan maju, biaya ekspor impor oleh China yang dianggap murah akan mengalami kenaikan menjadi 20% dengan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
Sedangkan kita sendiri tahu bahwa produk China sudah tersebar diseluruh dunia dan di gadang-gadang akan mempengaruhi perekonomian dunia tahun 2030 menggantikan Amerika Serikat sebagai pasar retail terbesar di dunia berkat e-commerce dengan di dorong pertumbuhan pasar saham di Asia oleh China, Indonesia, India dan Singapura.
Nah, ketika dollar akan terus mengalami kenaikan, perusahaan besar akan mengalami porak poranda apalagi ditengah meluasnya wabah Covid-19. Disini lah muncul peran IMF yang tergabung dalam Bank Dunia, akan memberikan penawaran hutang entah berapa milyar atau bahkan trilliun. International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang beranggotakan 189 negara bertujuan mempererat kerja sama moneter global, memperkuat kestabilan keuangan, mendorong perdagangan internasional dan yang paling penting yaitu menata ulang sistem pembayaran internasional. Walaupun nantinya perekonomian mulai pulih seperti semula, namun belum tentu dengan kurs dollar. Sehingga pada akhirnya IMF lah yang akan menguasai perekonomian dunia.
Jadi, apa yang perlu Indonesia lakukan untuk menghadapi Covid-19 ini?
Melihat penyebaran dan tingkat kematian yang terus bertambah, harusnya Indonesia mengambil langkah karantina wilayah sesuai dengan UU no. 6 tahun 2018.
Namun, pemerintah sepertinya ingin cuci tangan saja. Hal ini dapat kita lihat dalam bab II pasal 6 dan bab III pasal 8 UU no. 6 tahun 2018 dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam ketersediaan sumber daya baik dalam kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kehidupan sehari-hari selama penyelenggaraan Karantina dimana memang dari pasal diatas yang paling dirugikan adalah negara secara finansial.
Bagaimana? Sudah membuat pusing belum, polemik baik di nasional maupun internasional?
Penulis : Novianti
Editor: Farida