Semarang adalah salah satu kota terbesar di Jawa Tengah yang juga merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Bukan hanya sebagai ibu kota saja, namun Semarang juga menjadi sentra industri, kota pendidikan, pusat kebudayaan, dan menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri karena pesonanya. Kota Semarang terdiri atas 16 kecamatan dan 177 kelurahan yang memiliki topografi yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Pada 2017, jumlah penduduk Kota Semarang diperkirakan sebesar 1.653.035 jiwa yang tersebar di seluruh penjuru kota Semarang, dan data tersebut belum termasuk jumlah pendatang dari luar kota yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat mulai dari mahasiswa sampai pekerja. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu ditambah laju pembangunan kota yang amat masif, tentu hal ini menimbulkan berbagai permasalahan, salah satunya yaitu banjir.
Banjir di Kota Semarang diperkirakan terjadi akibat hujan deras yang mengguyur sejak Kamis, 4 Februari 2021. Bahkan sampai hari pada saat tulisan ini saya buat, banjir masih menggenang di beberapa wilayah di Kota Semarang. Berdasarkan pantauan, ketinggian banjir bervariasi mulai dari 10 cm sampai 150 cm. Banjir yang terjadi bahkan sampai menyebabkan bencana tanah longsor di beberapa lokasi. Data yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan ada setidaknya 42 wilayah di Kota Semarang yang terendam banjir. Genuk dan Tlogosari menjadi dua wilayah terdampak yang paling parah dimana ketinggiannya berkisar antara 50 sampai 150 cm. Banjir kali ini merupakan yang terparah dibandingkan yang pernah terjadi sebelumnya. Pernyataan ini tentu sangat beralasan, sebab banjir yang terjadi bukan hanya melumpuhkan aktivitas masyarakat saja, namun lebih dari itu, dampak yang ditimbulkan amat banyak mulai pemadaman listrik, berhentinya industri masyarakat yang tentu berakibat bagi penurunan pendapatan masyarakat Kota Semarang, berhentinya sendi- sendi bisnis sebab kawasan industri dan perkotaan yang menjadi tulang punggung perekonomian juga turut terendam banjir.
Apabila kita flashback beberapa tahun lalu, banjir telah terjadi berkali-kali di beberapa wilayah di Kota Semarang, bahkan banjir sendiri bagi masyarakat di Kecamatan Genuk seakan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Banjir yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena beberapa faktor dan salah satunya akibat kerusakan Sosio-ekologis. Banjir kali ini memang sangat kompleks, sebab sumber banjir bukan hanya satu, namun ada 3 sumber banjir di Semarang, yaitu : banjir kiriman dari hulu, banjir lokal, serta banjir rob. Kompleksitas banjir yang terjadi kali ini sudah barang tentu menyulitkan pemerintah kota dan berbagai stakeholder yang terlibat dalam proses penanganan banjir.
Berbicara soal penyebab banjir di Semarang, ada banyak perbedaan pendapat. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebutkan bahwa banjir kali ini merupakan hasil dari “ketidak becusan” dirinya dalam penataan wilayah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa salah satu permasalahan penggundulan hutan di pegunungan yang amat masif terjadi baik untuk pembangunan ataupun pembukaan lahan sebagai daerah pertanian menyebabkan daya cengkram tanah berkurang sebab akar pohon yang bertugas menopang beban tanah ditebang. Permasalahan tidak hanya berhenti sampai di sini, pembangunan wilayah perkotaan yang lajunya sulit dikendalikan juga menjadi persoalan krusial yang menyebabkan penurunan tanah (land subsidence), sehingga wilayah Semarang bawah ini sangat rentan dan rawan terdampak banjir. Namun pendapat berbeda datang dari Menteri Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, beliau menyebutkan bahwa banjir di Semarang kali ini disebabkan karena faktor alam yaitu tingginya curah hujan dan pasang air laut yang tinggi.
Banjir yang kali ini terjadi di Semarang tidak bisa serta-merta menyalahkan faktor alam, sebab banjir yang rutin terjadi akibat faktor alam pun tak sebesar dan selama ini. Dugaan yang paling relevan untuk dikemukakan antara lain ialah ketidaksiapan pemerintah dalam menangani dan menanggulangi banjir sebesar ini serta laju pembangunan yang sulit dikendalikan. Kesiapan infrastruktur menjadi salah satu faktor fundamental dalam penanganan masalah banjir di Semarang. Selama ini memang pembangunan sistem pencegah banjir seperti drainase, pompa air, waduk, dan lain sebagainya sudah dilakukan. Namun yang menjadi permasalahan yaitu jumlah infrastruktur yang dibangun ini tidak sebanding dengan luas wilayah, laju pembangunan, serta faktor alam. Pencegahan memang sudah dilakukan, namun kali ini meleset sebab banjir yang datang di luar perkiraan sehingga segala infrastruktur yang sudah disiapkan tidak mampu lagi membendung banjir yang datang. Masifnya pembangunan juga menjadi salah satu permasalahan utama yang harus segera dievaluasi bersama. Pembangunan yang lajunya amat tinggi dan penataan wilayah perkotaan yang belum baik disinyalir membuat penurunan permukaan tanah semakin tinggi, sebab dengan semakin tingginya angka pembangunan gedung dan wilayah industri juga turut menambah beban yang harus ditopang tanah, belum lagi banyaknya sumur bor yang dibangun juga ikut menyumbang penurunan muka tanah. Apabila masalah penurunan permukaan tanah dibiarkan tanpa adanya langkah preventif yang dibarengi dengan upaya penanggulangan maka bukan tidak mungkin wilayah Semarang khususnya wilayah pesisir pantai utara akan semakin rendah dan banjir rob akan semakin sering terjadi.
Menurut ahli hidrologi Universitas Diponegoro, Saripin, kurang tepat apabila banjir kali ini hanya disebabkan faktor cuaca ekstrem. Lebih dari itu, menurutnya faktor antropodemik labih dominan menyebabkan banjir di Semarang kali ini. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa faktor kegiatan manusia yang amat tinggi meningkatkan intensitas banjir yang terjadi sehingga ketinggian dan penyebarannya sulit dikendalikan. Tingginya kegiatan manusia dan laju pembangunan yang tinggi membuat sebagian wilayah Kota Semarang tidak lagi memiliki daerah resapan, sehingga air hujan tidak dapat terserap dengan baik dan hanya akan menjadi limpasan di permukaan saja, karenanya air akan menggenang dan sulit terserap hingga akhirnya terjadilah banjir.
Bencana banjir khususnya di wilayah pesisir pantai Semarang memang sudah dapat dikategorikan berat, sebab hampir terjadi secara rutin. Dalam permasalahan ini seharusnya pemerintah selaku pelaksana kebijakan bukan hanya meningkatkan kapasitas sistem pengendalian banjir saja, namun juga harus diimbangi dengan kemampuan pengendalian beban. Sehingga sistem yang dibangun dapat berjalan sesuai dengan beban yang ditanggungnya. Karena pengendalian beban apabila tidak dilakukan dengan baik, bukan tidak mungkin beban banjir akan semakin tinggi dan sistem yang selama ini dibangun tidak akan mampu lagi membendung laju debit banjir.
Pembangunan wilayah kota yang lajunya amat cepat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk juga disinyalir menjadi salah satu penyebab banjir di awal tahun ini sulit ditangani. Banyak dari pelaksanaan pembangunan gedung-gedung di wilayah Semarang yang tidak mempertimbangkan fungsi tanah sebagai serapan air hujan, yang pada akhirnya jumlah daerah serapan khususnya di wilayah perkotaan semakin berkurang, dan efeknya genangan air hujan akan terus tertampung di permukaan tanah. Memang tidak ada larangan pengalihfungsian tanah menjadi bangunan maupun fungsi pakai lainnya, namun fungsi asli dari tanah sebagai daerah serapan air hujan juga tidak boleh dihilangkan.
Perilaku masyarakat yang masih gemar membuang sampah ke aliran sungai juga dapat menimbulkan pendangkalan sungai dan tersumbatnya aliran sungai. Air hujan yang mengalir ke sungai seharusnya dapat berjalan dengan cepat dan jadi salah satu cara efektif untuk mengurangi debit air di permukaan, namun akibat banyaknya sampah yang menyumbat serta mendangkalkan kedalaman sungai, aliran sungai akan melambat sehingga sungai tidak lagi mampu menampung air hujan. Dalam hal ini sangat perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam penanganan sampah di lingkungan masyarakat, khususnya yaitu tentang sistem pembuangan sampah yang perlu untuk diperbaiki lagi, sehingga jumlah sampah masyarakat di aliran sungai dapat dikurangi. Apabila hal tersebut berhasil dilakukan, maka fungsi sungai sebagai pengalir debit air saat hujan dapat berfungsi secara maksimal.
Banjir yang terjadi di Semarang belakangan ini memang sangat sulit dihindari, hal ini diakibatkan penurunan muka tanah. Pramono Hadi, ahli hidrologi Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa Semarang sudah berada dalam level darurat banjir akibat land subsidence atau penurunan muka tanah. Panurunan muka tanah menjadi permasalahan yang sulit diatasi, sebab akan membutuhkan dana yang sangat besar. Akan sangat mustahil wilayah yang penurunan muka tanahnya tinggi dapat terhindar dari banjir apabila intensitas dan curah hujannya tinggi. Ini karena air hujan yang sulit untuk dialirkan, dan salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan sekarang yaitu dengan menambah jumlah pompa air agar debit air yang menggenang dapat dipindahkan. Pramono Hadi menambahkan bahwa polder dan tanggul sungai mungkin dapat menjadi solusi yang bijak, namun diperlukan dana yang sangat besar, dan pemerintah belum tentu akan menyetujuinya. Oleh karena itu, revisi tata ruang perkotaan khususnya yang berkaitan dengan sistem pengairan dan drainase perlu dilakukan secepatnya dengan melibatkan berbagai pihak dan pakar.
Alih fungsi wilayah pesisir menjadi kawasan industri, transportasi, area reklamasi, dan pariwisata yang dilakukan meninggalkan problematika, yaitu penurunan muka tanah di sepanjang kawasan pesisir kota Semarang, sehingga pada akhirnya meningkatkan potensi banjir rob sering terjadi di wilayah pesisir. Kombinasi antara banjir akibat pasang air laut dan banjir kiriman dari hulu ini yang menyebabkan banjir yang terjadi di hampir 42 titik, longsor di 33 titik di Kota Semarang, yang menyebabkan 4 warganya meninggal dunia dan memaksa 972 warga mengungsi ke tempat lain. Tentu banjir kali ini bukan hanya dampak dari hujan dan pasang surut air laut saja, namun di dalamnya juga terdapat unsur kurangnya kordinasi dan buah dari berbagai pembangunan yang masif dilakukan khususnya di wilayah perkotaan dan di sepanjang pesisir Kota Semarang. Adapun longsor yang terjadi di hampir 33 titik di Kota Semarang terjadi akibat perubahan tata ruang akibat banyaknya alih fungsi lahan di pegunungan menjadi area industri, kampus, pemukiman penduduk dan lain sebagainya yang menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai daerah resapan air dan penahan beban tanah agar tidak longsor. Dan permasalahan tadi merupakan pengaruh terjadinya cuaca ekstrem yang menjadi alasan pemerintah dalam menanggapi permasalahan banjir besar di Semarang kali ini.
Penanganan banjir di Kota Semarang kali ini juga patut menjadi perhatian. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo saat sidak di Rumah Pompa Air Mberok di Kota Lama menemukan hanya satu pompa yang dioperasikan, sedangkan dua pompa lainnya tidak dihidupkan. Pada saat petugas pompa ditanya alasan matinya dua pompa, mereka mengatakan bahwa belum dioperasikannya pompa akibat masalah administratif, dimana belum diturunkannya izin pengoperasian karena pekerjaan yang belum diserahkan. Tentu hal ini menjadi catatan bahwa masalah administratif dan birokrasi masih saja menjadi hambatan dalam penanganan banjir. Seharusnya pada kondisi darurat bencana seperti ini masalah yang berkaitan dengan administratif harus dikesampingkan, karena ada banyak nyawa yang harus dijaga keselamatannya.
Patut diakui memang penanganan banjir selama ini sudah optimal dilakukan oleh pemerintah, baik dengan pembangunan banyak rumah pompa air dan sebagainya. Namun satu yang masih menjadi catatan bagi pemerintah adalah permasalahan tata kelola lingkungan dan tata ruang di Kota Semarang. Masih banyaknya alih fungsi hutan di daerah Semarang Atas (Pegunungan) sehingga menghilangkan fungsi asli hutan sebagai daerah resapan dan penahan tanah dari longsor membuat kota Semarang menjadi lebih rentan terkena banjir lokal. Selain itu, tingginya pembangunan wilayah perkotaan juga tak luput meninggalkan permasalahan hilangnya fungsi resapan air pada tanah, akibat banyaknya aspal dan cor pada tanah. Banyaknya sumur bawah tanah yang dibangun untuk mengatasi kebutuhan akan air bersih juga menimbulkan penurunan muka tanah sehingga daerah yang terkena dampak penurunan tanah ini akan memiliki potensi tergenang banjir yang lebih besar. Pembangunan yang terjadi di daerah Pesisir Utara Semarang juga membuat potensi banjir rob akibat pasang laut semakin sulit dikendalikan, ini karena daerah pesisir yang tanahnya akan semakin turun menyebabkan air laut akan semakin mudah naik ke permukaan,apalagi drainase yang selama ini menjadi tumpuan pun tidak berfungsi secara optimal akibat penyumbatan dan pendangkalan dasar sungai dan drainase.
Harapannya penanganan banjir di Semarang bukan hanya jadi janji-janji manis saat kampanye saja, namun dapat direalisasikan secepatnya. Permasalahan sistem drainase, penurunan muka tanah, alih fungsi hutan, penggundulan, abrasi pantai, pendangkalan sungai, serta sistem pengendalian banjir harus segera dibenahi oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antara Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam menangani permasalahan banjir yang tak kunjung usai. Permasalahan administratif yang selama ini terkadang menjadi batu sandungan dalam penanganan banjir juga diharapkan tidak lagi terjadi, karena ada banyak hal yang lebih urgent untuk diurus dibanding harus tetap patuh pada administratif.
Sebagai tindakan preventif, masyarakat Kota Semarang juga dapat melakukan aksi nyata untuk mencegah banjir tidak terjadi di daerahnya. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya seperti: tidak membuang sampah di sungai, membuat daerah resapan air di sekitar area rumahnya, ikut dalam aksi penanaman pohon di pegunungan sebagai cara untuk mengembalikan fungsi hutan, dan berpartisipasi dengan tidak membangun sumur bor bawah tanah sebagai bentuk pencegahan penurunan muka tanah. Karena pada dasarnya, iklim dan cuaca ekstrem pun terjadi bukan hanya karena faktor alam saja, namun dapat juga terjadi imbas akibat masifnya kegiatan manusia yang tidak berlandaskan keberlangsungan lingkungan hidup.
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq
Editor: Tuti Wijaya