2 tahun sudah Indonesia dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan wakilnya Ma’ruf Amin. Selama 2 tahun itu pula banyak catatan baik dan buruk yang menghinggapinya. Mulai dari perbaikan ekonomi secara nasional, laju pembangunan, atau pasang surut penanganan Covid-19, hingga rapor merah catatan demokrasi dan penanganan korupsi di Indonesia.
Jika berbicara mengenai jalannya pemerintahan Jokowi – Ma’ruf, maka akan sulit jika kita tidak menyoroti janji politik yang dahulu digemborkan pada saat kampanye di tahun 2019. Masih di ingat betul program-program yang dirancang seperti kartu sakti, pemerataan pembangunan, pembangunan sumber daya manusia, perbaikan hukum, hak asasi manusia serta penanganan korupsi, hingga peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya, apakah berjalan?.
Menilik pada janji politik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi berserta wakilnya Ma’ruf Amin, maka kita akan melihat jika prioritas program kerja mereka ialah di sektor ekonomi dan pembangunan. Dan itu merupakan fakta yang terlihat sekarang ini. Kita dapat melihat jika penanganan terhadap masalah-masalah di bidang hukum dan hak asasi manusia terasa jalan di tempat dan tidak menunjukan perkembangan, justru kemunduran dan banyak celah lah yang terlihat sekarang ini. Periode pertama Jokowi menjabat sebagai presiden, mungkin ekonomi nasional dan pembangunan infrastruktur jadi prestasi yang bisa ia banggakan. Namun di periode kedua bersama KH. Ma’ruf Amin, tradisi pembangunan ekonomi dan pembangunan nyatanya tidak dapat dijalankan secara optimal, semuanya terkana imbas akibat pandemi Covid-19 yang menerjang sejak awal tahun 2020.
Pandemi tentu menjadi bencana besar dan cobaan luar biasa yang harus dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah. Semua program kerja yang sudah dirancang secara matang dipaksa untuk harus dilaksanakan dengan pembatasan dan dievaluasi lagi agar bisa berjalan di tengah pandemi. Program kerja dalam bidang ekonomi nasional, pariwisata, pendidikan, pembangunan infrastruktur nasional, serta kesehatan harus dibenahi dan diubah ulang karena pandemi. Akibatnya target-target yang sudah dipasang tidak dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Salah satunya berada di bidang ekonomi, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sejak pembatasan sosial dan penurunan ekonomi secara nasional.
Bidang kesehatan, terjadi dua kali gelombang Covid-19 yang amat mengerikan, ditambah dengan masuknya beberapa varian baru yang disebabkan oleh kelalaian pemerintah dalam menangani laju penyebaran virus corona.
Bidang pendidikan, hampir semua sektor di bidang ini mengalami kemunduran karena tenaga pendidik dan pelajar yang belum bisa mamaksimalkan dalam penggunaan teknologi yang telah ada saat ini. Kita sedikit patut mengapresiasi kinerja pemerintah belakangan ini yang Sedikit demi sedikit, mampu menaikan angka masyarakat yang mendapat vaksinasi ditambah dengan optimalnya pelaksanaan PPKM membuat angka Covid-19 di Indonesia terus menurun. Kemajuan ini juga turut membawa angin segar bagi ekonomi nasional, ekonomi masyarakat, pendidikan dan beberapa sektor lain yang mulai bisa kembali dijalankan walaupun dengan pembatasan-pembatasannya.
Namun, apa kabar dengan kinerja pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin di bidang lainnya?
Dalam bidang hukum seperti yang bisa kita lihat dan amati, belum maksimalnya penegakan hukum di indonesia membuat timbulnya gelombang protes pada berbagai Daerah di Indonesia. Janji-janji pemerintah untuk membenahi permasalahan di bidang hukum nyatanya belum bisa terlaksana dengan baik. Bisa dilihat satu persatu, Beberapa produk hukum berupa undang-undang yang telah disahkan mulai dari Undang-Undang KPK, Undang-Undang Cipta Kerja, undang-undang minerba serta, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik semuanya menjadi headline pemberitaan di mana mana.
Awal mulai turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum yang di buat pemerintah adalah direvisi Undang-Undang KPK alhasil membuat lemahnya peran KPK dalam upaya membasmi prektik korupsi di Indonesia serta dipecatnya 57 Pegawai KPK karna Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang janggal itu. Lalu, Undang-Undang Cipta Kerja juga memantik gelombang unjuk rasa yang dilakukan oleh elemen masyarakat dari golongan buruh dan mahasiswa. Undang-Undang Cipta Kerja dinilai hanya menguntungkan perusahaan sebagai pemegang modal saja. Bukan hanya itu, Undang-Undang ITE juga menjadi salah satu isu yang banyak disoroti oleh banyak pihak. Sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah korban kekejaman Undang-Undang ini dikarenakan Undang-Undang ITE dinilai banyak memiliki pasal karet dan berpotensi menimbulkan multi-tafsir. Imbasnya, banyak pihak yang pada akhirnya menyalahgunakan pasal-pasal dalam UU ITE untuk menjerat orang lain atas peristiwa yang terjadi antara kedua belah pihak. Bahkan parahnya lagi, kasus penyalahgunaan UU ITE dilakukan oleh instansi dan lembaga negara sebagai alat penahanan. Banyak korban Undang-Undang ini yang pada akhirnya harus merasakan dinginnya jeruji besi karena mengkritik pemerintah dan pejabat-pejabat di dalamnya.
Banyaknya program kerja yang ditargetkan dapat selesai dalam jangka waktu 5 tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, penanganan kasus-kasus hak asasi manusia jadi salah satu yang menarik banyak perhatian. Bagaimana tidak, kasus pelanggaran HAM yang sudah mangkrak sejak dulu belum juga menemukan titik terang sampai sekarang. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, dalam jangka waktu periode terakhir di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mengalami kemunduran dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tentu apabila kasus-kasus besar yang terjadi dalam kurun waktu orde baru hingga reformasi ini sampai sekarang belum menemukan titik temu, maka akan jadi catatan buruk pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang akan selalu diingat banyak pihak. Terlebih di masa jabatan yang sudah hampir setengah periode berjalan ini, tidak nampak adanya keseriusan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Desakan ini tentu sangat beralasan, jika kita analogikan saja dalam satu periode masa jabatan Jokowi-Ma’ruf ini dapat menyelesaikan satu saja kasus pelanggaran HAM berat, maka tentu hal ini akan jadi tolak ukur bagi pemerintahan di masa mendatang.
Sekian banyaknya rentetan rapor merah di atas, masyarakat juga mulai menyoroti isu kebebasan sipil dan kemunduran demokrasi pada dua tahun awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sorotan tersebut tentu berdasar, Sebab dalam 2 tahun terakhir ada banyak hak-hak sipil dan aktifitas demokrasi yang lama-kelamaan semakin dikebiri. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik misalnya, UU ITE menjadi dalih oleh sebagian orang bahkan sekelas pejabat dan institusi negara untuk menjebloskan pihak-pihak yang kedapatan mengkritik pemerintah. Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi pun dinilai mengalami kemunduran, aksi represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam menangani para pejuang demokrasi yang semakin brutal. Peristiwa-peristiwa di atas seharusnya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, terlebih demokrasi di indonesia dijamin oleh konstitusi negara. Sekarang ini demokrasi hanya menjadi simbol semata, sedangkan pelaksanaannya tidak jelas ke arah mana dan akan seperti apa.
Dalam aksi masa menolak Undang-Undang Cipta Kerja, Amnesty Internasional mencatat setidaknya ada 43 insiden kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhitung mulai 6 Oktober hingga 10 November 2020. Dari hasil tersebut, tercatat terdapat 402 korban kekerasan yang di sebabkan oleh aparat keamanan yang tersebar di 15 provinsi. Oleh karna itu, dibutuhkan evaluasi secara besar-besaran pada kinerja kepolisian dalam menangani massa aksi demonstrasi dan bagaimana mereka seharusnya memperlakukan masyarakat dengan menjujung tinggi hak asasi mausia (HAM). Harapannya apabila setelah evaluasi terhadap kinerja kepolisian yang dilakukan oleh Kapolri maupun melalui instruksi Presiden, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga masyarakat dapat berkurang, sehingga iklim demokrasi akan lebih membaik antara kepolisian dengan masyarakat dapat terbangun sikap saling menghormati.
Penurunan indeks demokrasi Indonesia yang tercatat dalam laporan The Economist Intelligence Unit, di mana saat ini Indonesia menempati urutan ke-64 dunia dalam indeks demokrasi dunia. Skor yang diraih Indonesia hanya 6,3 hal tersebut sangatlah jauh dari kata baik, di mana angka ini menurun dari angka yang diraih pada tahun lalu yaitu sejumlah 6,48. Angka tersebut merupakan yang terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Penurunan angka indeks demokrasi ini disinyalir diakibatkan karena rentetan kasus represifitas aparat hingga tidak adanya jaminan bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Tentu sedikit apresiasi bagi pemerintah yang belum 100% dalam menangani wabah pandemi Covid-19 dan segala upaya dalam memulihkan ekonomi di Indonesia. Dalam Sektor pendidikan yang sedikit mulai pulih sebagai upaya memberikan hak pendidikan yang lebih luas bagi pelajar . Namun, catatan buruk atas kinerja 2 tahun terakhir Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin juga harus dijadikan refleksi bagi pihak-pihak dan stakeholder yang terkait untuk memperbaiki kinerjanya ke depan. Negara Indonesia yang berdiri di atas kedaulatan rakyat, maka segala kebijakan pun harus berpihak dan atas kemauan rakyat. Oleh sebab itu, rakyat harus dinomorsatukan dalam menjalankan negara dan pemerintahan sebab suara rakyak adalah suara Tuhan.
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq
Editor : (DI)