Semarang, Lpm Suprema — “Matahari menggantung di langit Desa Selok Anwar yang penuh awan kelabu. Lebaran awan tipis tanpa kotor, tipuan angin berpasir menyentuh kulit kering Alim di halaman rumahnya. Pandangannya lepas ke arah jagung, cabai, kates, dan tanaman lain yang membentang di punggung tempat tinggalnya itu,” tulis salah satu isi paragraf dari buku Kisah Ganjil Pelaut dan Kisah-Kisah Lainnya.
Lewat karya tulis berupa cerpen yang dibukukan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah bekerja sama dengan bukit buku, dan #bersihkanIndonesia terus menggaungkan dampak yang timbul akibat krisis iklim.
Isi yang disajikan dalam buku yang berjudul “Kisah Ganjil pelaut dan kisah-kisah lainnya” berusaha menyuguhkan perihal isu-isu lingkungan yang ramai diperbincangkan saat ini.
Dari informasi yang dihimpun Suprema, sebelumnya Lomba Cerpen Climate Fiction (Cli-Fi) sendiri diselenggarakan dalam rentang waktu 7 Oktober – 7 November 2021 untuk penerimaan file naskah, dan 8 – 15 November 2021 merupakan masa penjurian, yang mana akan diambil 11 karya cerpen terbaik dalam lomba ini.
Dwi Cipta, penulis dan salah satu dari juri, mengatakan tulisan yang masuk ada lebih dari 500 tulisan. Hal tersebut bahkan melebihi apa yang diperkirakan oleh dewan juri yang awalnya mengira mungkin hanya akan ada 100 naskah. Antusiasme peserta lomba terlihat pada dua hari tarakhir pengumpulan tulisan, di mana ada sekitar 150 naskah cerpen yang masuk.
“Aku itu ketika di undang sudah memprediksi, akan banyak,” ucap Dwi Cipta kepada Suprema pada saat lounching buku di Serikat Dagang Kopi, Kota Lama Semarang, Kamis (21/4/2022).
Dwi juga mengatakan, sangking banyaknya tulisan yang masuk, dalam proses penjurian ia bisa membaca sampai 30 naskah setiap seharinya.
“Sebelas kumpulan cerpen pilihan ini, itu sangat kuat, hubungan kenyataan atau realita kerusakan iklim atau krisis iklim ini nyata ya.”
“Isu lingkungan itu sangat penting, karena berhubungan dengan kita sehari-hari, dari yang paling dekat, yang kita makan yang kita minum itu. Sekarang itu udah ancaman tersendiri. Makanya itu dari kita sendiri enggak aware, enggak sadar, engga punya kesadaran, enggak kritis terhadap isu-isu lingkungan yang ada, maka kita sendiri yang kena” tambahnya.
Sementara itu, Agung salah satu penulis dalam cerpen tersebut, membeberkan dalam tulisannya yang menceritakan seorang mahasiswa yang dijebloskan ke Rumah Sakit Jiwa karena aktivitasnya sebagai seorang aktivis lingkungan.
Agung juga membeberkan proses penulisan cerpennya yang membutuhkan waktu selama satu sampai dua minggu.
“Ide soal itu (isi cerpennya–red) sudah ada sejak lama sih” ujarnya.
Mahasiswa dari UIN Walisongo itu juga meresa senang setelah karya tulis cerpennya mendapatkan juara dan menjadi salah satu tulisan yang dibukukan.