Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) SUPREMA mengecam tindakan represif aparat kepolisian dari Direktorat Neoplasia Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulsel yang melakukan penangkapan paksa terhadap tiga Jurnalis Pers Mahasiswa di Makassar saat meliput aksi nelayan tolak tambang pasir di pesisir pantai Kodingareng pada Sabtu, (12/9/2020)
Mereka yang ditangkap yakni, Hendra (Ketua UKPM Unhas), Mansyur (Pimpinan Redaksi Cakrawala IDE UPPM-UMI), dan Raihan (Cakrawala IDE UPPM-UMI). Selain mereka, tujuh nelayan dan satu mahasiswa juga turut ditangkap.
Sehari sebelum kronologi penangkapan, pada hari Jum’at (11/9/2020) empat pers mahasiswa ditugaskan untuk meliput kegiatan nelayan yang pada saat itu sedang melakukan aksi tolak tambang pasir laut di Kodingareng. Kegiatan tersebut adalah project kolaborasi Catatan Kaki UKPM Unhas dan Cakrawala IDE UPPM-UMI untuk membuat video dokumenter.
Mereka berangkat dengan menumpang kapal penyeberangan di Pelabuhan Kayu Bangkoa sekitar pukul 09.12 WITA. Di pulau tersebut, mereka menempati rumah salah seorang rekan. Setibanya, mereka melakukan observasi untuk kebutuhan pengambilan gambar. Mereka menemui sejumlah nelayan untuk wawancara. Dalam proses observasi dan wawancara awal itu diketahui bahwa nelayan akan melakukan aksi lanjutan tolak tambang pasir keesokan harinya. Setelah rapat singkat, mereka memutuskan untuk ikut meliput aksi tersebut sebagai bahan dokumenter.
Pada Sabtu (12/9/2020), pagi harinya nelayan mulai berkumpul. Mereka bersiap untuk melakukan aksi. Para nelayan berangkat pada pukul 07.30 dengan mengendarai Jolloro (kapal besar) dan Lepa-Lepa (kapal kecil). Para nelayan hendak mengusir kapal PT Royal Boskalis yang kembali menambang di Copong yang merupakan wilayah tangkap nelayan.
Keempat jurnalis pers mahasiwa tersebut menaiki kapal nelayan yang berbeda. Hendra dan Rahmat (UKPM Unhas) menaiki kapal nelayan yang sama. Sementara Mansyur dan Raihan di kapal nelayan yang lain. Kecuali Rahmat, ketiganya membawa kamera.
Aksi yang dilakukan oleh nelayan berlangsung sekitar dua jam. Setelah aksi tersebut, nelayan kembali ke pulau Kodingareng. Sekitar pukul 09.40 WITA, saat nelayan dalam perjalanan pulang, tiba-tiba perahu nelayan dihadang oleh dua speedboat milik Polairud Polda Sulsel. Perahu nelayan kemudian ditabrak serta alat kendali perahu (stir) dirusak. Perahu terus didorong hingga para nelayan yang ada di atas hampir terjatuh ke laut. Kemudian pada saat itu Polairud menarik paksa dan menangkap nelayan, mahasiswa aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang berada di atas perahu tersebut.
Ditengah keributan itu, salah seorang nelayan hendak kembali menjalankan kapal, namun polisi mencegah tindakan itu dan melepaskan tiga kali tembakan. Polisi kemudian menangkap nelayan dan ketiga jurnalis pers mahasiswa.
Menurut kesaksian Rahmat, sebelum ditarik paksa mahasiswa tersebut memperlihatkan kartu pers, tetapi polisi tak menghiraukan dan tetap menangkap mahasiswa tersebut. Sebelum dibawa, ketiganya diduga mendapatkan perilaku intimidasi dan kekerasan dari polisi. Kemudian mereka diangkut menggunakan kapal Dit Polairud Polda Sulsel untuk dibawa ke kantor.
Tercatat dalam peristiwa tersebut sebanyak 11 (sebelas) orang ditangkap. Diantaranya, 7 (tujuh) nelayan, yaitu: Nawir, Asrul, Andi Saputra, Irwan, Mustakim, Nasar dan Rijal. Satu nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah. Selain itu, 1 (satu) mahasiswa aktivis lingkungan bernama Rahmat yang sedang merekam kejadian ikut ditangkap dan mengalami kekerasan; dipukul di bagian wajah dan badan, ditendang dan lehernya diinjak. Lalu handphone milik Rahmat yang dipakai merekam jatuh ke laut saat hendak disita oleh Polairud.
Sementara itu, 3 (tiga) orang mahasiswa yang ditangkap merupakan jurnalis pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan aksi, yaitu: Hendra dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM-UH), Mansur dan Raihan dari Unit Kegiatan Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UPPM UMI).
Setelah itu, pada pukul 14.10 WITA, ratusan nelayan hendak menuju kantor Dit. Polairud Polda Sulsel untuk melakukan aksi protes terhadap tindakan penangkapan. Namun anak buah kapal (ABK) yang akan ditumpangi tidak bersedia mengangkut para nelayan, karena mendapat ancaman dari pihak Polairud, Jika nekat mengangkut akan ditangkap.
Hingga akhirnya, setelah beberapa hari ditahan pada Minggu, (13/09/2020) LBH Makassar memberikan informasi bahwa tujuh nelayan beserta seorang aktivis lingkungan hidup dan tiga jurnalis pers mahasiswa yang ditangkap Polair Polda Sulsel dibebaskan, ke 11 orang yang ditangkap yaitu tujuh nelayan yakni, Nawir, Asrul, Andi Saputra, Irwan, Mustakim, Nasar dan Rijal. Sementara tiga jurnalis pers mahasiwa yang ikut ditangkap ialah Mansur, Hendra, Raihan serta seorang aktivis lingkungan hidup bernama Rahmat, baru saja keluar dari markas Polair Polda Sulsel, pukul 12.10 WITA. Pembebasan tersebut dilakukan karena setelah melakukan pemeriksaan, tidak memiliki cukup bukti untuk menahan para nelayan Kodingareng dan tiga jurnalis pers mahasiswa serta aktivis lingkungan, lebih kurang 24 jam dimintai keterangan atau diinterogasi.
Kami lembaga pers mahasiswa Suprema, menilai penangkapan ini bertentangan dengan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin jurnalis dalam menjalankan profesinya. Undang-undang Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 UU Pers menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta.”
Berdasarkan kronologi kejadian diatas, kami mengajak seluruh pers mahasiswa se-Indonesia dan elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan mengawal tindak kekerasan serta penangkapan kesewenang wenangan oleh pihak aparat dengan memproses hukum secara adil untuk kawan-kawa pers mahasiswa dan masyarakat yang sedang berjuang menengakkan hak-haknya.
Penulis: Zuyyina
editor: Tuti