Yogjakarta, LPM Suprema — Berterimakasih dengan alam merupakan salah satu contoh sikap kita sebagai manusia di saat berelasi dengannya.
Irfan Hafifi, Sejarawan dan Budayawan asal Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) memberikan contoh berupa sajen (persembahan pada upacara keagamaan), ia mengatakan, hal tersebut merupakan salah satu contoh kecil bagaimana caranya mengucap rasa terima kasih kepada alam di waktu dulu.
“Terimakasih itu kata yang keren menurut saya, jadi kita menerima, dan kita mengasih. Jadi kita sudah menerima buahnya dari alam, kemidian kita mengasih. Jadi kita kayak memberi dan menerima gitu,” ucap Irfan Hafifi dalam Talkshow Ulang Tahun Mojok yang mengangkat tema Sembah Bumi : Tafsir Takhayul di Balik Pohon Besar di Kancane Coffe & Tea Bar, Sleman, Yogjakarta, pada Minggu (28/8/2022) kemarin.
Lebih jelas, Hafifi mengatakan bahwa kita harus senantiasa mengungkapkan rasa terima kasih kepada alam semesta. Menurut Irfan, ia (alam) yang telah menyusun kita menjadi manusia. “Tanpa tubuh, anda tidak akan menjadi manusia, begitu, nah yang ini susunan, jadi kayak berterimakasih gitu,” ucapnya.
Menurutnya, berterimakasih kepada alam layaknya seperti kita berterimakasih kepada orang tua yang telah melahirkan kita di dunia ini. “Itu usaha anda berterimakasih kepada mereka (alam dan orang tua, red) yang telah melahirkan kita,” ujarnya.
Di lain sisi, dikarenakan seluruh ilmu yang ada sekarang menjadi ilmu positif, alhasil akhirnya ilmu yang tidak bisa dibuktikan secara sains itu dianggap tidak rasional (tahayul).
“Jadi agama ini sumbernya dari tahayul, misalnya kita percaya Jin di pohon, dianggap tahayul,” Ujarnya. “Di Agama itu, anda belum menjadi mukmin kalau belum mempercayai sesuatu yang ghoib. Jadi hal yang ghoib itu justru menjadi keyakinan dasar dari agama ini. Tuhan itu apa, ya yang maha ghoib. Kalian enggak percaya hal goib, jangan beragama.”
Sekarang, kata Hafifi, segala informasi sangat terbuka lebar, karena itu orang-orang dapat menafsirkan lagi ilmu-ilmu yang telah muncul selama ini. Ia juga berharap masyarakat dapat kembali, melihat lagi kepada tradisi-tradisi lantas dapat memaknai kembali. Ia juga menyayangkan untuk sekarang banyak orang menafsirkan bahwa mistisisme hanya sebatas hal-hal yang berbentuk makhluk halus atau setan saja. Padahal, kata Hafifi, pengertian mistisisme tak hanya sekedar itu.
“Kan repot itu (penafsiran orang soal hal ghoib) nggak mengantarkan kita kepada yang maha ghoib, Tuhan. Iki piye iki, kok mistisisme dimaknai genderuwo, demit, danyang dan lain sebagainya,” ucapnya
Sementara itu, pembicara lainnya, Farid Stevy, seniman dari Gunung Kidul Yogyakarta membagikan ceritanya dikala ia mengadvokasi pohon tua dengan cara yang tidak biasa. Ia dengan rekan-rekannya membalut satu-satu pokok pohon besar menggunakan kain mori yang telah disiapkan sebelumnya. Maksut dari pembalut pohon tersebut, kata Farid, sebagai bentuk penjagaan dan melindungi terhadap pohon itu sendiri. Advokasi tersebut ia lakukan terhadap pohon-pohon yang ada di hutan Wadas, Bener, Purworejo yang rencanakan daerah tersebut akan ditambang untuk pembangunan Bendungan Bener.
“Membayangkan. Ketika traktor-traktor itu berhenti di depan pohon yang sudah dilangse itu. Saya berharap, pohon di sana, sebagian dapat bertahan,” ujarnya.