Semarang, lpmsuprema.com – Aktivis dan mahasiswa se-Semarang Raya tumpah ruah di Depan Gedung Gubernuran Jawa Tengah (30/9/2021). Massa berkumpul untuk menggelar aksi Peringatan Hari Oligarki & G30S/TWK. Namun cukup disayangkan karena pada aksi sore itu beberapa peserta aksi mendapatkan tindakan repesif dari oknum aparat keamanan.
Aksi yang diikuti oleh aktivis dan mahasiswa tersebut dilaksanakan mulai pukul 16.00 WIB, dimulai dengan long march dari Patung Kuda Peleburan Universitas Diponegoro menuju Gubernuran Jawa Tengah. Aksi tersebut pada dasarnya digelar untuk memperingati tragedi kemanusiaan G30S/PKI pada 1965. Bukan hanya itu, sesuai dengan tajuknya, aksi ini juga digelar sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang dianggap banyak melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut mulai dari cacat hukum, ketidakadilan, serta kontroversi berbagai produk hukum (UU KPK, UU Cipta Kerja, hingga RUU Minerba). Pemecatan terhadap 57 Pegawai KPK juga menjadi dasar dilaksanakannya aksi tersebut di Semarang.
Banyaknya produk undang-undang yang tidak pro terhadap rakyat kecil menjadi kegusaran banyak masyarakat, karena secara langsung mereka pula yang akan menerima kerugiannya. Masalah yang menimpa 57 Pegawai KPK juga mendapat sorotan publik. Pegawai yang sudah tidak diragukan lagi integritasnya justru dipecat dengan dalih “Tidak Lolos Tes Wawasan Kebangsaan”. Hal seperti inilah yang menginisiasi masa untuk melakukan aksi pada hari itu. Namun cukup disayangkan, sore itu pembubaran masa berjalan dengan tegang karena beberapa peserta aksi mendapatkan sejumlah tindakan kekerasan.
Tindakan repesif yang dilakukan oleh beberapa anggota kepolisian dibenarkan baik oleh peserta aksi maupun LBH Semarang selaku koordinator acara. Tercatat ada 7 orang korban yang mendapatkan kekerasan dan intimidasi dari aparat keamanan. Mereka ditendang, dicakar, dijambak, hingga diintimidasi oleh oknum aparat keamanan. Ketujuh korban berasal dari beberapa unsur, mulai dari mahasiswa, anggota lembaga pers mahasiswa, serta aktivis dari LBH dan WALHI.
Ketegangan antara kepolisian dan peserta aksi terjadi sekitar pukul 17.45 WIB. Saat itu seyogyanya setelah adzan maghrib usai, peserta aksi akan melaksanakan acara terakhir yaitu teatrikal. Namun secara tiba-tiba pihak aparat keluar dari Gerbang Gubernuran dan berusaha membubarkan aksi yang saat itu hanya tinggal acara teatrikal saja. Bertolak belakang dengan kejadian ini, padahal dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 13 ayat (1) huruf b, dijelaskan bahwa pihak kepolisian diwajibkan melakukan koordinasi dengan peserta aksi. Pihak LBH sebagai salah satu koordinator aksi mengatakan bahwa pihak kepolisian sebelum membubarkan aksi tidak ada koordinasi dengan Korlap terlebih dahulu. Justru yang terjadi adalah pembubaran secara paksa dan dengan beberapa tindakan kekerasan.
Dari pengakuan salah seorang korban, dia mengatakan setelah menerima beberapa tindakan kekerasan, dia juga mendapatkan bentakan bernada keras. “alamat kamu mana?, tahu agama tahu sholat nggak?”.
LBH Semarang dalam rilisnya menyatakan dengan keras mengutuk dan menyayangkan adanya tindakan represifitas dari aparat, lagi dan lagi. Meski pihak keamanan dalam hal ini kepolisian menyatakan bahwa pembubaran dilakukan karena aksi telah melebihi batas waktu yang dijadwalkan. Selain itu, pihak kepolisian juga menegaskan bahwa mereka terprovokasi dengan kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan peserta pada aksi tersebut. Namun pihak LBH sendiri menyatakan bahwa kata-kata kotor tersebut ditujukan kepada produk undang-undang yang dianggap kontroversi, bukan kepada kepolisian, jadi tidak ada alasan bagi polisi untuk terprovokasi.
LBH Semarang berharap Kepala Kepolisian Republik Indonesia selanjutnya juga Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah untuk bertindak tegas atas perilaku represif anggotanya. Pihak LBH menambahkan bahwa sudah seharusnya oknum polisi yang berbuat kekerasan tersebut diberikan sanksi yang tegas agar kejadian serupa tidak kembali terulang.
Aksi demonstrasi yang pada dasarnya merupakan salah satu cara masyarakat menyampaikan pendapat sudah seharusnya dapat dihormati oleh berbagai pihak. Aksi demo yang juga dilindungi dalam sistem hukum nasional sudah sepatutnya tidak mendapatkan tekanan dari aparat keamanan. Kejadian berupa kekerasan aparat keamanan terhadap masa aksi tidak hanya sekali ini terjadi. Sudah berulang kali terjadi, bahkan menuai banyak protes. Presiden serta Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang sudah mewanti-wanti agar anggota kepolisian mengedepankan cara yang humanis dalam menghadapi rakyat nyatanya dalam kejadian seperti ini tidak diindahkan. Bukankah dengan melakukan kekerasan seperti ini justru akan menambah rasa ketidaksukaan masyarakat terhadap aparat keamanan?. Pasal 28E ayat (3), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Deklarasi Internasional Kebebasan Berpendapat harus ditegakkan untuk melindungi hak asasi setiap warga negara. Saling menghormati adalah kuncinya.
Penulis : Ibnu Khafidz Arrozaq