Oleh : Rina Sasmita
Terdiam, seperti biasa hanya sekedar duduk di pinggir pantai untuk menikmati senja kesukaanku. Namun senja kala ini terasa sedikit berbeda dengan senja pada bulan lalu, dimana senja begitu indah dengan pancaran warna jingga yang sangat menakjubkan. Senja bulan lalu sama halnya dengan senja sore ini, namun yang membedakan adalah suasana hati dan cara menikmatinya. Mungkin kala itu aku menikmati warna jingga itu bersamamu, dengan suasana hati yang bahagia untuk sekedar melepas rindu. Saat itu kita percaya bahwa saling menyadarkan pada cita-cita bersama adalah yang terbaik. Aku mengejar mimpiku dan kau mencari sedikit bekal agar bisa memintaku dengan layak pada orang tuaku.
Ada sedikit pilu, ketika mengingat percakapan-percakapan kita kala itu. Aku percaya bahwa jarak bukanlah suatu penghalang, namun jarak adalah alasan untuk tetap bertahan. Jarak adalah suatu pembuktian, bukti seberapa kita saling percaya dan saling mendewasakan. Ahhhh, begitu asyik aku memikirkanmu hingga tak sadar warna jingga itu telah pudar dan berganti dengan pekat malam. Aku pun beranjak untuk pulang karena tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan.
Juli, masih bertahan dengan cuaca yang tak pasti, kala siang terik begitu menyengat, kala malam datang dingin menusuk tulang. Begitupun subuh ini rasanya malas sekali beranjak dari tempat tidur untuk sekedar mengambil air wudhu. Dengan sedikit memaksakan diri akhirnya aku beranjak dari tempat tidurku dan mengambil air wudhu, kemudian ku bentangkan sajadah biru ke lantai untuk menunaikan dua rakaat shalat subuh.
Matahari pun sudah naik ke peraduan dan akupun mulai melakukan rutinitas sehari- hari, mulai dari membersihkan tempat tidur hingga membersihkan diri. Berhubung hari ini adalah hari pertama libur semester, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah membantu ibu, mulai dari membersihkan seisi rumah dan belajar memasak. Aku ingat dengan perkataan ibu, “cah wedok ki kudu iso masak ndok“, hingga pada akhirnya ku putuskan untuk mulai belajar memasak mulai hari ini. Derap langkah kaki tertangkap indera pendengaranku, ku balikkan badan mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu ibu dengan senyum yang mengembang membingkai wajah aku berkata “ini loh anak wedok udah bisa masak bu” mendengar aku memuji diri sendiri seketika tawa ibu pecah “ono opo iki, kok tumben masak?”, tanya ibu curiga. “Loh ibu kan pernah bilang kalau anak wedok itu harus bisa masak, lah ini udah mau masak kok malah di paidhu toh bu buuu”.
Denting sendok beradu dengan piring menghiasi ruang makan. Disela kegiatannya mengunyah makanan tiba-tiba bapak bertanya terheran-heran “Kok rasane gak koyok biasane
yo bu“, “lah emang gimana toh pak rasanya?” sahut ibu. “Rasane enake pol bu, ibu beli ya?”, “Enggak pak, itu masakan Kinanthi”. “owalah anak wedok wes pinter masak toh ternyata”. Senyum di wajahku begitu awet mendengar pujian-pujian yang dilontarkan bapak dan ibu kepadaku. Selesai makan, aku pun segera membersihkan meja makan sekaligus mencuci piring kotor kami.
Setelah selesai melakukan semua pekerjaan rumah, kini aku hanya duduk di tepian tempat tidur. Tak ada lagi kegiatan yang harus ku lakukan. Andai dia belum pergi ke perantauan, mungkin aku bisa menghabiskan waktu liburku bersamanya dengan berkeliling menggunakan sepeda motor kesayangannya di kota kecil ini. Indah rasanya ketika aku duduk di belakang motornya sambil menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan. Setiap ada kesempatan dia selalu mencuri pandang ke arahku dari spion bulat warna merah motornya itu sembari mengelus lutut dan tersenyum padaku. Bayangkan saja bagaimana raut wajahku kala itu, sudah pasti pipi chubby ku ini dihiasi oleh semburat warna merah alami karena tersipu malu. Selalu saja tanganku dimintanya untuk dimasukkan ke dalam saku jaket parasit warna hitamnya jika angin malam mulai berhembus menusuk hingga tulang hingga membuatku tidak kuat akan rasa dinginnya.
Aaaaah ya Tuhan, aku masih merindukannya. Aku terlalu lemah dan merasa terkalahkan “RINDU”. Tak banyak kata yang mampu aku curahkan saat ini. Yang aku tahu, aku merindukan kekasihku disana. Dia yang selalu menggodaku sampai aku merasa sebal dan ingin rasanya aku cubit lengannya sampai memerah. Ketika kita memiliki jarak dikarenakan mengejar masa depan, ketika kita harus berjarak dan hanya bertumpu pada sebuah kepercayaan dan kejujuran, tapi hati ini tetap tak ingin menggantikan dirimu dengan yang lain. Setiap kali aku merasakan kerinduan dan merasakan kesepian, selalu saja ada pria lain yang mencoba mendekatiku, untuk menjalin hubungan lebih dari sekedar teman. Mungkin itu adalah sebuah ujian untukku, apakah aku dapat mempertahankan janji dan komitmen yang telah kita bangun hampir dua tahun ini. Dan aku tidak mungkin membuka hati untuk orang lain selain dia. Sedangkan semua keluargaku dan keluarganya sudah sama-sama tahu sejauh mana hubungan yang telah kita jalani. Banyak sekali orang disekitarku bertanya “kamu betah banget LDRan, kamu gak takut dia selingkuh, kamu gak takut dia gak bakal balik buat seriusin kamu, kamu gak takut dia begini dan begituuuuuu”, dalam hati aku berteriak, arghhh!!!! Ingin sekali rasanya ku memaki setiap orang yang mengolokku. Semua pertanyaan yang dilontarkan itu sudah ada dalam pikiranku dan sering bergelut sendiri antara perasaan dan pikiran di kepala. Tapi semua itu aku tepiskan untuk tidak terlalu fokus pada pikiran dan perasaan yang terkadang terlintas pada diri ini. Karena aku sendiri percaya, bahwa terkadang
apa yang terjadi dalam kehidupan sebagian besar terjadi karena dari respon pikiran dan perasaan kita. Jika kita berpikiran positif maka insyaAllah semua akan berjalan secara lurus dan positif. Itulah yang selalu aku terapkan dalam menjalin hubungan dengan dia agar semua tetap baik-baik saja. Sebenarnya ada rasa takut jika ia akan nyaman dengan wanita lain disana. Dan, sejauh ini Alhamdulillah tidak ada masalah yang terlalu serius yang membuat kita mengakhiri hubungan. Kita sendiri saling meredam ego masing-masing. Berkomunikasi terus agar tidak terjadi adanya kesalahpahaman. Long Distance Relationship itu kuncinya ada pada komunikasi, karena komunikasi yang baik akan menghasilkan hubungan yang harmonis. Kami selalu berusaha berteman dengan hujan, juga berusaha untuk mengakrabi badai hingga terkadang kami merasa lelah jika harus berjalan lebih jauh lagi. Namun, ada satu hal yang selalu kami rapalkan seraya saling menggenggam harapan, ‘Kita akan lalui semuanya bersama’.
Suara dering dengan cahaya berkedip-kedip di layar ponsel mengalihkan perhatianku. Waaah senangnya ternyata ada video call darinya. Mungkin ia tahu, ia sedang aku bicarakan dalam hati hehehehe…
Dengan suara khasnya, ia langsung membuka salam. “Assalamu’alaikum, bolotttttt” itulah panggilan yang paling menyebalkan yang selalu dilontarkan dari mulutnya. Sambil berderai tawa aku menjawab salam darinya. Seperti biasa dia menanyakan bagaimana kabarku, kesibukan apa yang sedang aku lakukan, bercerita apapun yang terjadi, selebihnya semua isi obrolan adalah saling membully hehehehe. Itulah cara bagaimana kita membangun chemistry dengan bercanda, karena kita sama-sama orang yang kocak.
Tak ada yang bisa kita lakukan selain saling menguatkan, meski seringkali juga ada tangis keputusasaan. Kami memang harus bersabar pada waktu, juga jarak yang menebar rindu. Kabar gembira datang ketika panggilan video tadi berlangsung, bahwa ia akan pulang akhir tahun 2019 nanti. Ia berencana ingin melamarku, sebagai bukti dari keseriusannya dan untuk hubungan yang lebih serius ke depannya. Semoga harapan kita dapat terwujud dan di amini oleh semesta.
Ada kalanya jarak dan waktu menjadi dua hal yang menyesakkan dan melelahkan. Begitu juga yang terkadang kita rasakan, ketika dua orang yang saling mencintai harus menerima takdir bahwa jarak pandang mata kita terentang ratusan kilometer jauhnya. Kata orang, pasangan yang mampu menjalin hubungan jarak jauh adalah orang-orang yang memiliki cinta yang tangguh. Kami tak tahu apakah itu benar atau kah tidak, kami menganggapnya sebagai doa bahwa kami bisa tetap tegak berdiri ketika badai benar-benar menghampiri.
Keajaibanlah yang menuntun kita sampai dengan hubungan sejauh ini, yang awalnya aku sama sekali tidak mengenalnya. Berkenalan karena tak sengaja, salah kirim chat melalui BBM kala itu. Sedikit malu jika mengingatnya. Tetapi aku berterimakasih dengan kejadian itu, karena akhirnya kita bisa mengenal satu sama lain sampai sejauh ini. Kita bukanlah pasangan yang sempurna, karena memang di dunia ini tak ada yang sempurna. Kita bagaikan kumpulan huruf abjad, apabila tidak ada huruf K maka terasa kurang lengkap. Dan juga seperti halnya kita, jika salah satu diantara kita pergi, kita tinggal huruf yang kehilangan arti.
Mulai hari ini aku tidak akan mengeluh dengan adanya jarak yang memisahkan kita karena aku tahu kamu akan kembali untukku. Menepati semua janji yang telah kita untai. Cukup jarak saja yang memisahkan, bukan dengan hadirnya orang ketiga. Dan cukup jarak saja yang berjauhan asal hati kita jangan karena jarak itu untuk saling percaya bukan untuk saling mencurigai.
Dengan jarak, seseorang akan mengerti dan menyadari betapa seseorang sangat berarti dalam hidup ini. Karena LDRlah yang mengajarkan kita apa itu “SABAR”, apa itu arti “MENUNGGU”, apa itu arti “KESETIAAN”, ketika banyak godaan yang menghampiri dan apa itu arti “PERCAYA” kala hati dan pikiran seakan bergelut menjadi satu.
Perasaan kita ini semakin luas, lebih luas lagi dari jarak yang memisahkan. Suatu hari nanti, kita akan bangga pada diri kita yang bisa mempertahankan hubungan sampai sejauh ini, susah, senang bersama meski terhalang jarak. Jangan jadikan jarak sebagai suatu hubungan yang membosankan dan alasan untuk saling menghinati janji. Ingatlah sayang…..bahwa ada sosok wanita setia yang menunggumu untuk lekas pulang. Dan akan ada malam panjang untuk kita berdua saling bahagia dan membahagiakan. Mungkin bukan malam ini, tapi nanti. Pasti!